Serpihan 28 - Buat Aku Membencimu
Ada dua matahari. Meski salah satunya mulai tak berfungsi dan hendak mati.
***
Hakikatnya, matahari hanya boleh ada satu. Bukan dua atau malah lebih. Hanya boleh ada satu yang bersinar terang. Menghangatkan ruang-ruang hatinya yang gelap. Jika matahari itu lebih dari satu, harus ada yang mengalah, lantas pergi. Mematikan kehangatannya karena sudah tak diperlukan lagi.
Karena satu itu sudah kecukupan.
Dan Minhyuk pun sadar diri. Yang mana peran yang harus ia ambil. Ia si matahari mati itu. Ia yang tak berhak menyinari ruangnya. Menghangatkan hatinya. Apalagi menjadi kebutuhannya. Maka dari itu ia -mencoba- mengalah.
Namun, hatinya goyah kembali. Hanya dengan sebungkus vitamin yang mungkin tak punya arti bagi si pemberi. Yang ironinya menyiksa si penerima hingga ke lubuk hati.
***
Keesokan harinya
Setelah mandi, berpakaian, dan mematut dirinya sejenak di depan cermin. Pemuda itu melangkah menuju sofa ruang tamu apartemennya dan duduk di sana. Memandang kosong ke arah bungkusan kecil di depannya.
Ia terdiam, terlihat menimbang dengan begitu serius. Antara ingin membuangnya lalu melupakannya. Atau meminumnya dan ingin kembali padanya.
Sekitar setengah jam ia hanya duduk diam seperti itu. Hingga sebuah bunyi bel membawanya kembali dari lorong lamunannya. Mengakhiri keputusan tak berujung untuk memaksanya melangkah ke pintu depan.
"Oppa, ayo makan bersama."
Tubuh seorang gadis dengan wajah tertutupi dua bungkus makanan bertuliskan nama sebuah restoran yang pertama kali menyambutnya. Gadis ini lagi. Pikirnya lemah.
Tanpa menunggu jawaban dari Minhyuk, gadis itu menyerobot masuk. Seperti yang sering ia lakukan dulu. Dan bagai apartemen itu miliknya, ia mulai memindahkan bubur yang ia bawa. Lalu menghidangkannya di atas meja.
"Oh, ada vitamin juga di sini." Seru gadis itu saat melihat bungkusan yang sejak tadi menghantui pikiran Minhyuk. "Baru saja aku berencana membelikan oppa vitamin juga. Ternyata oppa sudah beli."
"Bukan aku yang membelinya." Minhyuk berjalan mendekatinya.
"Lalu siapa?"
"Jung Soojung."
***
Malam itu...
"Apa yang dilakukan mahasiswa sastra di gedung ekonomi? Apa yang kau lakukan di depan loker seorang mahasiswa managemen bisnis?"
Soojung diam. Mulutnya bungkam. Banyak sekali ribuan kata bermakna yang lalu lalang dalam benaknya. Namun tak satu pun yang layak untuk lolos melewati tenggorokannya. Dan karena itulah ia hanya bisa berdiri kaku. Menatap lurus pada tatapan mendakwa itu.
"Mengapa kau mengirimiku benda seperti itu?" Suara lemah Minhyuk kembali menggema. Di antara lorong-lorong yang hanya ada keduanya di sana. Dengan loker sebagai saksinya.
"Apa ini-" Setiap tarikan nafas mulai terasa berat. Tarikan nafas menuju kematian. "-rasa kasihan?"
Soojung masih berdiri diam. Ia berusaha keras agar tak menimbulkan ekspresi apapun. Ia tengah membangun pertahanan diri. Agar tak terjatuh lagi.
Tawa Minhyuk menggema. "Hah, sepertinya benar." Bahkan tawa itu mulai terdengar menyedihkan. "Kau seharusnya tak usah melakukannya. Karena tak ada yang perlu kau kasihani. Aku baik-baik saja."
KAMU SEDANG MEMBACA
Dating a Fangirl
FanfictionKau kira mudah berpacaran dengan seorang Fangirl? Tidak. Sama sekali tidak. Rasanya menyakitkan. Why? Karena yang harus kau lawan adalah seorang bintang besar. Dan yang lebih menyakitkan. Aku sudah jatuh terlalu dalam dengan Fangirl ini. *** Kisah r...