Chapter 4 || Alex

1.1K 100 32
                                    

Seperti hari Minggu biasanya, Alex bangun ketika jam menunjukkan pukul sepuluh. Ia menuruni tangga dan berjalan menuju dapur, mencari beberapa asupan untuk ia makan.

"Alex, kamu kok pagi-pagi minum gituan sih?" tanya Dean, ibu Alex yang tiba-tiba datang menghampirinya.

Alex melongo ketika coke yang baru ia tenggak seperempat dirampas begitu saja dari tangannya. Lalu Dean menyodorkan susu bear brand putih, membuat Alex mengernyit.

"Kok aku minum ini sih, Ma?"

"Biar sehat, Sayang. Udah minum aja," tukas Dean.

Alex menggerutu namun tetap meminum susu pemberian ibunya. Ia menghempaskan tubuhnya di sofa. "Alva mana, Ma?" tanyanya.

Dean mengangkat bahu. "Nggak tau. Kakak kamu tuh, susah banget dibilangin. Dua minggu nggak pulang, mau jadi apa dia? Gelandangan?"

"Sabar, Ma, sabar." Alex terkikik melihat ibunya yang ngomel-ngomel tentang kakak laki-lakinya, Alvairo Geraldo. "Papa mana?"

"Ke pasar."

Alex melotot. "Papa? Ke pasar?"

Dean mengangguk kalem. "Iya. Hukuman karena nggak bawain martabak pesenan Mama semalem."

Alex tertawa keras menanggapi sikap ibunya yang manja. Deandra Kalila memang wanita yang mempesona. Ia satu-satunya perempuan di rumah, yang kuat mengurusi tiga laki-laki kesayangannya sendirian tanpa mengeluh. Bagi Alex, Dean malaikat.

"Ma, aku lagi naksir cewek nih," curhat Alex tiba-tiba.

Dean menghentikkan aktivitas memotong wortelnya, kemudian berlari kecil menghampiri anak keduanya di ruang tamu. "Siapa? Siapa?"

Alex mencebik. "Mama, ih. Biasa aja dong."

"Iya, iya, Mama biasa nih." Dean duduk bersila dengan nyaman. "Siapa cewek nggak beruntung itu, Lex?"

"Mama!"

Dean terkekeh. "Iya, iya, maap. Baper lu ah."

"Dih."

"Yaudah cepetan cerita."

Kemudian, Alex menghabiskan hari Minggunya dengan bercerita banyak tentang Milan pada ibunya. Dan ibunya ini, sangat penasaran dengan sosok Milan yang selalu Alex puji-puji.

"Yang mana sih, Lex?" tanya Dean penasaran. "Mama pernah ketemu nggak?"

Alex menggeleng. "Kapan-kapan Alex bawa ke rumah."

Dean tersenyum sumringah. "Akhirnya Mama punya temen cewek," kata Dean. "Cewek yang kamu bawa dulu kemana?"

"Putus, Ma," jawab Alex datar. "Tapi aku bingung nih."

"Bingung kenapa?" Dean menyuapi Alex apel yang sudah ia potong.

Alex memainkan bantal yang ada di pangkuannya. "Aku greet dia apa enggak."

"Ya harus dong," jawab Dean semangat. "Biar jadi deket. Pedekate gitu loh."

"Takut, Ma."

Dean tersenyum kemudian mengelus rambut Alex penuh sayang. "Nggak usah takut. Kamu 'kan ganteng. Ya, masih ganteng Papa sih," katanya sambil tertawa kecil. "Semangat deh."

Alex memikir ulang perkataan ibunya. Pedekate ya?

Cowok berambut hitam kecoklatan itu lantas mengambil ponselnya di saku. Menuruti kata Ibunya, pedekate.

Alexandro A: masuk sebelas apa?

Lalu ia mengutuk dirinya karena terlalu monoton dalam memilih topik pembicaraan. Baru saja ingin mengadu ke Dean, ponselnya berdenting halus, membuat Alex cepat-cepat membuka notifikasi LINE.

Milan Summer: ipa 2

Alexandro A: ohhh

Milan Summer: iyaa

"Astaga, jutek banget," gerutu Alex sebal. "Ma, kalo cewek jutek diapain?"

Dean yang sedang di dapur, menoleh. "Gaspol aja."

Alex menggeleng-geleng. "Nyokap gue kenapa gini banget."

"Assalamu'alaikum."

"PAPAAAAA!" teriak Dean kemudian berlari menghampiri suami tercintanya, Alzair Hutama.

Alzair mengernyit. "Apa?"

"Ih, Papa kok lama banget? Ngapain aja? Nggak ketemu cewek 'kan? Belanjaan Mama nggak ada yang ketinggalan 'kan? Mana?"

Pria bertubuh jangkung itu lantas berjalan melewati istrinya dan meletakkan dua plastik belanjaan milik istrinya di dapur. "Enggak, dan enggak, Ma."

"Makasih, Papa," kata Dean sambil tersenyum kecil kemudian meninggalkan kecupan di pipi Alzair, membuat pria itu tersenyum.

"Woi, tau tempat kale," sindir Alex yang melihat kemesraan kedua orang tuanya.

Alzair duduk di samping Alex. "Iri aja. Nggak punya pacar ya? Kasian."

"Dih. Punya lah," bantah Alex. "Liat aja nanti. Ya 'kan, Ma?"

"Iyain."

"Ih, Mama!"

+++

Hari baru, hal baru.

Alexandro Andromeda datang dengan semua pasang mata mengiringinya. Seragam acak-acakan, dengan celana abu-abu yang dikecilkan atau istilahnya begi. Tren zaman sekarang. Seperti biasa, Alex membiarkan rambutnya berantakkan. Hal tersebut justru membuat penampilan cowok itu semakin menarik.

Milan memandang Alex dari kejauhan. Cowok itu berjalan sendirian, sampai Deganio datang dan merangkul bahu Alex akrab. Mereka berdua tertawa, saling pukul, dan menghiraukan sekelilingnya. Seperti cahaya menguar dari tubuh keduanya.

"Milan!"

Cewek yang dikuncir kuda itu lantas menoleh. "Apa?"

Dega tersenyum cerah. "Rere mana?"

"Nggak tau," jawab Milan singkat.

"Ih gitu."

Alex melirik Milan sekilas. Ia berusaha keras untuk tidak tersenyum melihat penampilan cewek itu pagi ini. Rambut yang dikuncir kuda, dengan beberapa helai jatuh di sekitar wajahnya. Kacamata bergagang hitam yang selalu menjadi kelemahannya. Cantik Sekali.

"Oh iya. Nanti dateng ke aula ya. Ada kampanye pemilihan OSIS." Dega menepuk bahu Alex. "Dia calon wakil nya."

Milan membelalakkan matanya. Alex wakil ketua OSIS?

Alex tersenyum kecil. "Dateng ya." Kemudian menarik Dega pergi.

Fakta bahwa Alex mencalonkan diri menjadi wakil ketua OSIS membuatnya berpikir. Membayangkan Alex mengenakan almamater hitam khas OSIS, dengan rambut berkilaunya, serta—

"Please, deh. Ngapain sih gue mikirin dia?" gerutu Milan sebal lalu berjalan cepat menuju kelas.

"Perhatian seluruh siswa SMA Antariksa, diharapkan segera menuju aula sekolah untuk menghadiri kampanye pemilihan anggota OSIS. Segera."

Milan mendecak. "Rere sama Ratu kemana sih? Pasti udah duluan." Ia melangkah cepat memasuki aula, dan mengedarkan pandangannya mencari kedua sahabatnya. Bukan mereka yang ia dapat, malah Alex yang menatapnya lekat dari atas panggung, lalu menyunggingkan senyum.

Senyum Alexandro.

+++

21 April 2016 — 9:44 PM

Hi semua. Maafkan aku membuat kalian menunggu. Part ini di rombak abis. Maaf ya. Love you.

Sincerely, MilanTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang