Chapter 24 || Mata Kelabu dan Langitnya

629 44 6
                                    

Rasa-rasanya, kemarin adalah hari terburuk bagi Milan. Kenyataan bahwa Alex berbohong, membuat dirinya gigit jari menahan kesal. Puluhan pesan dari cowok itu ia abaikan, bahkan dirinya sengaja mematikan notifikasi LINE di ponselnya, guna membuatnya lupa untuk beberapa saat.

Namun, perasaan cemas dan rindu memang selalu hinggap di tiap-tiap individu yang mungkin sedang dalam masa penguatan hati. Milan juga merasakkan hal serupa. Rasa ingin merengkuh dan mengatakan perihal cinta dan perasaan, harus tertelan di tenggorokan karena ego dan harga diri lebih berharga kedudukannya, mungkin.

Milan memerhatikan setiap orang yang berlalu lalang di hadapannya malam ini. Mengaduk gelas berisi milkshake cokelat kesukaannya tanpa minat, menahan perih di hatinya ketika sadar kalau setiap sudut di kafe ini menyimpan banyak kenangan tentang dirinya dan Alex.

Seharusnya, sore tadi ia memenuhi janjinya dengan Rere untuk berburu diskon di toko pakaian favorit mereka. Berbekal alasan sedang flu berat, Milan akhirnya dapat menghindari kicauan sahabatnya itu dan melarikan diri ke kafe dekat rumahnya. Sebuah tempat yang dulu ia sambangi setiap waktu, dan sekarang melangkah ke arah sana pun rasanya berat.

"Tes-tes, halo."

Sebuah suara terdengar dari panggung yang terletak di ujung kafe, membuat Milan dan beberapa orang lain menoleh penasaran. Disana, duduk seorang laki-laki yang membawa gitar di pangkuannya dengan santai. Lampu remang yang menghiasi sekitar panggung itu, menambah kesan hangat dan romantis di seluruh penjuru kafe. Bahkan beberapa pasangan yang datang menikmati malam Minggu mereka, mulai tersenyum satu sama lain dan bercanda ringan.

Suasana yang indah, tapi tidak untuk Milan.

Matanya masih menatap lurus ke arah laki-laki yang sekarang sedang memetik beberapa senar dengan pelan, mencoba satu demi satu untuk mencapai nada yang ia inginkan. "Selamat malam, semuanya."

Sederhana, dalam, dan ringan.

Tiga kata yang mendeskripsikan suara laki-laki itu ketika mulai berbicara. Milan merasakan desir di hatinya, enggan mencari tahu lebih lanjut apa yang sebenarnya ia rasakan. Paling hanya sebatas kagum, karena kelemahan Milan memang pada suara yang menurutnya aman untuk di dengar setiap harinya.

Sama seperti lelaki berkaus abu-abu itu.

"Saya akan membawakan beberapa lagu untuk menemani malam kalian. Semoga menyenangkan."

Petikan gitar halus perlahan masuk ke indera pendengar perempuan yang kini sedang menopang dagunya. Intro yang ia ketahui sebagai sebuah lagu galau menyayat hati, lantas membuat Milan meringis dan menertawakan kondisinya saat ini.

"Kini harus aku lewati
sepi hariku
tanpa dirimu lagi."

Iya, memang saat ini Milan sedang sendiri. Tapi statusnya tetap berpacar kok.

"Biarkan kini ku berdiri
melawan waktu
tuk melupakanmu
walau, pedih hati
namun aku bertahan."

Riuh pedih meronta dalam dirinya. Milan memakan potongan cheesecake stroberi miliknya ganas, menahan sesak yang menjalar di dadanya. Ia menunduk dalam seakan jika ia mengangkat kepalanya, hal buruk akan menimpa dirinya saat ini juga.

"Boleh duduk disini? Kebetulan bangku yang lain terisi penuh dan saya liat kamu sedang sendiri."

Mengangguk pelan, Milan tetap menundukkan kepalanya, enggan mencari tahu bahkan tidak peduli lagi apakah orang yang menghampirinya ini jahat atau tidak.

Sincerely, MilanTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang