"Milan, bangun!"
"Hmm."
"Bangun sekarang!"
"Iya, bangun nih."
"Jangan sampe Ibu ke atas, Mil."
Milan mendecak sebal namun tetap memaksa tubuhnya duduk tegak. Matanya mengerjap beberapa kali, sebelum memutuskan untuk bangkit dan bersiap. Duapuluh menit setelahnya, ia menuruni tangga dengan tas hitam yang tersampir di bahunya. Tetapi, jantungnya dibuat berdetak cepat ketika pandangannya menangkap seseorang yang duduk di meja makan dengan santai.
Sang Ayah, Gara, menoleh dan tersenyum. "Sini sarapan dulu. Kasian Alex udah nungguin daritadi."
"Alex?" Milan memandang cowok itu aneh sambil berjalan untuk duduk di sampingnya. "Ngapain disini?" bisiknya pelan.
Alex tersenyum kecil. "Jemput lo."
"Kenapa nggak bilang dulu sih?"
"Surprise dong," jawab Alex kalem. Suasana sarapan pagi ini terasa berbeda, karena kehadiran Alex di meja makan. Ditambah, kedua kakak Milan yang seakan ingin tahu segalanya tentang cowok itu.
Garry menggigit roti di tangannya. "Lo sekelas sama Milan?"
"Enggak, Bang," ucap Alex.
"Udah berapa lama kenal Milan?" tanya Garry spontan membuat Milan melemparkan pandangan tajam ke kakak pertamanya itu.
Maira berdeham kecil. "Lo pacarnya Milan?"
"Kakak!" pekik Milan kemudian menendang kaki Maira di bawah meja.
"Apa, sih? Kakak 'kan cuma nanya."
Sonya menegur ketiga anaknya. "Cepetan sarapan. Nanti telat."
Milan cemberut lalu bangkit dan mengambil kotak bekal untuk dibawa ke sekolah. "Milan duluan, dadah."
Setelah mencium tangan kedua orang tuanya, serta meninggalkan kecupan kecil di pipi Garry dan Maira, Milan menarik tangan Alex untuk segera bangkit dan pergi.
"Ngapain, sih?" cecar Milan galak. "Tau-tau ada di rumah. Nggak bilang-bilang."
Alex menuntun Milan ke mobilnya, dan membukakan pintu untuk cewek itu. "Salah ya, jemput pacar?"
Milan terdiam mendengar jawaban cowok itu. Ia hampir melupakan fakta bahwa Alex sudah menyatakan perasaannya, dan Milan menerimanya dengan senang hati. Hari-hari kedepannya tidak akan sama, karena status Alex yang menjadi kekasih Milan. Bisa saja, cowok itu akan mengantar jemputnya setiap hari, dan selalu ada untuknya. Dan Milan berpikir, Alex sudah melakukan hal seperti ini untuk keberapa kalinya? Apakah Alex memperlakukan setiap perempuan yang menjadi kekasihnya sama? Apa Milan akan berakhir seperti mereka?
"Summer?" panggil Alex lembut.
Milan menoleh gugup. "Iya?"
"Kenapa?" tanya Alex perhatian. "Sakit?"
Milan menggeleng pelan kemudian mengintruksikan agar cowok itu segera melajukan mobilnya ke sekolah.
Menit setelahnya, Alex dan Milan sama-sama tidak membuka pembicaraan. Milan memilih menatap keluar jendela, sementara Alex fokus menyetir sambil sesekali menoleh ke arah Milan.
Suara lembut Harry Styles perlahan memecah keheningan yang mengisi di sepanjang jalan. Alex menaikkan volume radio, mengingat Milan sangat mengidolakan band yang berisi empat cowok, dimana satu laki-laki berdarah Pakistan memilih untuk memutuskan karirnya bersama band itu.
"We could be the greatest team, that the world has ever seen." Alex bernyanyi di sela-sela lagu History yang diputar.
Milan menoleh sembari terkekeh. "Tau?"
"Tau dong," jawab Alex senang karena cewek itu merespons nyanyiannya. "Gue tau segalanya."
Alis Milan terangkat, bibirnya tersenyum meremehkan. "Masa?"
"Iya."
"Gue tanya ya," tantang Milan. "Cowok yang rambutnya keriting siapa?"
"Harry Styles," jawab Alex santai.
"Yang punya tato arrow di tangannya?"
"Liam Payne."
"Dari Irlandia?"
"Niall Horan."
"Yang gue suka siapa?"
"Alexandro Andromeda," tukas Alex yakin, membuat kedua pipi Milan lagi-lagi memerah karenanya.
Milan menunduk dan menepuk-nepuk pipinya pelan. "Jangan blushing, jangan blushing," bisiknya kecil.
Lampu lalu lintas berubah merah ketika Alex menghentikkan laju mobilnya. Matanya melirik Milan, kemudian menepuk kepala cewek itu dua kali.
"Nggak pa-pa. I like you anyway."
Bukannya berkurang, rona di pipi Milan justru semakin bertambah sehingga membuatnya menutupi wajahnya dengan tangan.
Alex terkekeh. "Kenapa ditutupin mukannya? Nanti aku nggak bisa liat muka kamu."
Milan menghela napas berat sambil berusaha mengontrol detak jantungnya yang menggila. Ia menaikkan kedua kakinya lalu menenggelamkan kepalanya di antara lipatan tangan.
"Liat aku dong, Mil."
"Stop, Lex," ujar Milan pelan.
"Mil, aku 'kan mau liat muka kamu."
"Alex, diem."
"Milan—"
"Alex!"
"Iya, Sayang?"
Milan menyandarkan kepalanya di jendela dan menutup matanya frustasi. "Gue bisa mati kalo kayak gini."
+++
9 Mei 2016 — 12:16 PM
Gue harus ngurangin kebiasaan update tengah malem. So sorry muah.
Oh iya, buat kelas 9 yang mau UN, semangat ya! semoga sukses, percaya diri jangan pake kj!!
KAMU SEDANG MEMBACA
Sincerely, Milan
Teen FictionHai, mungkin aku tidak pantas untuk menulis seperti ini. Tetapi aku masih mencintaimu. Sama seperti tigapuluh menit yang lalu, tigapuluh menit yang akan datang, dan seterusnya. Hatiku terus memantapkan jejaknya kepadamu. Meraung-raung memanggil nama...