Jeritan tertahan disusul dengan tawa seorang perempuan terdengar di koridor sekolah. Semua orang memperhatikan sambil sesekali tersenyum iri, namun ada juga yang mendecak sebal karena merasa terganggu.
Alex meraih pinggang Milan dari belakang dan menariknya mendekat. Cewek itu masih tenggelam dalam gelak tawa dan berusaha mengatur deru napasnya yang memburu karena lelah berlari menjauh dari kejaran Alex. Keduanya terduduk di lantai tidak sengaja sehingga membuat anak-anak yang hendak lewat menggerutu sembari mencari jalan lain.
"Ngapain sih lo!"
"Woi, gue mau lewat."
"Sampis lo berdua."
"Minggir kek, elah!"
Milan kembali tertawa keras sampai-sampai perutnya terasa keram dan mati rasa. Ia menarik napas panjang dan memukul bahu Alex pelan. "Receh lo."
"Lo tuh. Gituan aja diketawain," balas Alex nyinyir. Tangannya menggenggam milik Milan dan menuntunnya berdiri, menghindari amukan yang akan mereka terima jika terlalu lama duduk di tengah jalan.
"Lagian siapa suruh salah gandeng orang. Untung bukan cewek!"
"Aku gak tau Tama disitu." Bibir Alex mengerucut menanggapi perempuan yang sedang merangkul lengannya erat dan bersandar di bahunya.
Milan terkekeh kecil kemudian menghentikan langkahnya. "Makan bekel di belakang yuk. Mumpung masih lama istirahatnya."
Anggukan semangat datang dari Alex yang langsung menarik tangan perempuan itu dan berlari kecil ke halaman belakang sekolah, setelah mengambil kotak bekal biru dari dalam kelas.
Suasana halaman siang itu tidak terlalu ramai, hanya beberapa anak cowok yang duduk bergerombol sambil menghisap dalam-dalam rokok yang mereka miliki. Halaman belakang memang jarang didatangi, karena sebagian tahu kehadiran geng rebel di sekolah yang selalu nongkrong saat istirahat, dan lebih memilih menghindari daripada mencari masalah.
Milan tersenyum kecil saat angin menerpa lembut wajahnya. Perempuan yang mengayunkan kakinya itu lantas menyelipkan helaian rambut yang terjatuh di pipinya. Ia membuka mulutnya lahap saat Alex menyodorkan sendok berisi nasi goreng kesukaannya."Lex."
"Hm?"
"Kamu pernah mikir gak, sih." Tangan Milan bergerak mengambil kerupuk dari kotak makannya, "kalo kita belum tentu selamanya kayak gini? Sebahagia ini?"
Yang laki-laki menghela napas kemudian menatap kosong ke tanah. "Pernah, sih. Tapi itu tergantung kita juga. Mau nulis cerita selanjutnya gimana. We had our own choices."
"Look at them," ujar Milan sambil mengarahkan pandangannya ke sekelompok lelaki di pojokkan. "Aku yakin mereka gak sebebas itu. Pasti ada suatu hal yang mereka simpan satu sama lain. Entah seberapa kuat rahasia itu mereka jaga."
Alex tak mengatakan apa-apa namun perlahan ia menyandarkan kepalanya di bahu Milan yang membuatnya merasa di rumah. Tidak ada percakapan selanjutnya sampai bel berbunyi menandakan waktu istirahat telah habis. Milan mengusap pipi Alex untuk yang terakhir, sebelum jarinya mencari celah di antara ruas-ruas jari milik Alex.
+++
"Hai, curut-curutku."
Dega menatap laki-laki yang datang dengan senyuman super lebar di bibirnya itu dengan sinis. Telapaknya terjulur ingin memukul kepala bagian belakang Adera, namun refleks cowok itu cukup cepat untuk menghindari serangannya.
"Lama banget, bangsat," gerutu Alex lalu menyugar rambut acak-acakannya. "Ganteng gue sampe luntur nungguin lo."
"Kangen ya?" Dengan sayang, Adera mengusap kepala Alex sambil sesekali menepuknya kecil.
"Najis."
Obrolan mereka berlanjut dengan Adera yang mendominasi dengan kisahnya yang entah bagaimana berakhir tragis dengan Ratu. Kesedihan terlihat jelas di kedua mata laki-laki bertubuh tinggi itu. Dega yang duduk diam memperhatikan cerita Adera dengan saksama, lantas ikut memberikan semangat dan meyakinkan bahwa masih banyak mutiara tersembunyi di laut.
Kabur pelajaran terakhir, itulah yang selalu mereka lakukan. Ketiganya hanya menghabiskan waktu sambil membicarakan hal-hal yang mungkin tidak terlalu penting. Namun sepertinya untuk saat ini, Alex akan memberikan sesuatu yang lebih berbobot diantara mereka.
"Guys," ucap Alex sukses membuat Dega dan Adera sama-sama menoleh ke arahnya.
"Apa?" sahut mereka bersamaan. Alex menatap gelas di hadapannya kosong, disusul helaan napas panjang dari mulutnya. Entahlah, ia seperti tidak yakin akan sesuatu yang akhir-akhir ini sangat memberatkan hatinya. Mengenai sikap player yang sudah menempel lekat di nama belakangnya.
"You know i'm not that good," lirih Alex, "i always being dis-accapointment."
Dega mengernyit. "Dis-accapointment apaan?"
"Yang di Pitch Perfect goblok. Norak banget," jawab Adera kesal. "Lanjut Lex."
"Gue mikir, bisa gak ya, sekali aja gue setia sama satu orang? Sekali aja, gue gak terus-terusan ngecewain orang yang gue sayang? Sekali aja, gue minta sekali ini aja, Milan jadi orang yang tepat buat gue."
Mendengar hal itu keluar dari mulut Alex, Dega dan Adera kontan tertegun. Mereka tidak menyangka, seorang player ulung seperti Alex memiliki pemikiran luas tentang cinta. Terlihat jelas ketulusan di kedua mata Alex, yang selalu berbinar lembut setiap cowok itu menatap Milan. Kekaguman serta ketidakinginan untuk kehilangan hadir di setiap harinya, membuat siapapun dapat melihat jelas kali ini Alex serius dengan pilihannya. Milan-nya.
"Bisa, Lex," ujar Dega sambil tersenyum kecil. "Lo cuma harus ngeyakinin diri lo, kalo dia yang terbaik. Dia tempat lo pulang."
"I tried but." Alex menatap langit-langit kantin sore itu. "Susah jaga mata gue buat selalu natap Milan. Lo ngerti gue gimana, Deg."
"Iya, gue ngerti."
Adera menatap kedua temannya itu bingung. Ia mengerutkan alisnya. "Kalian ngomongin apaan?"
"Noh, ada gerobak cilok masuk selokan," celetuk Dega malas kemudian kembali fokus dengan ponselnya, membiarkan Alex tenggelam dalam pikiran terliarnya.
Tentang dirinya, Milan, dan masa depan.
+++
Usai mengantar Milan selamat sampai di rumah, Alex tidak langsung pulang ke rumahnya. Ia memutar kemudi, mengarahkannya pada tujuan yang lain. Butik langganan keluarganya, yang selalu menjadi tempat mama dan segala kebutuhan belanjanya disalurkan.
Alex menatap setumpuk gaun yang terjejer rapi di butik itu. Seorang perempuan sekitar duapuluh-an menghampirinya sembari tersenyum manis. "Buat siapa, mas?"
"Pacar saya," jawab Alex lalu ia berdiri tegap, menunggu sang penjaga toko kembali dengan segala hal yang telah ia pesan tadi.
Beberapa saat kemudian, perempuan itu datang dan menunjukkan sebuah gaun yang hanya dengan membayangkannya saja, Alex pasti jatuh cinta. Tak ingin berlama-lama, ia segera pergi usai membayar gaun itu dengan suka cita. Di pikirannya melayang imajinasi terindah tentang hari esok.
Ponselnya berdering, membuat kegiatannya menyalakan mesin mobil sedikit tertunda. Matanya menatap layar ponsel dengan ragu, sebelum kemudian memutuskan untuk mengabaikan panggilan telepon itu dan melanjutkan perjalanannya ke rumah.
Ratu calling ...
+++
wow baru update wow luv u
The Script - For The First Time
KAMU SEDANG MEMBACA
Sincerely, Milan
Ficção AdolescenteHai, mungkin aku tidak pantas untuk menulis seperti ini. Tetapi aku masih mencintaimu. Sama seperti tigapuluh menit yang lalu, tigapuluh menit yang akan datang, dan seterusnya. Hatiku terus memantapkan jejaknya kepadamu. Meraung-raung memanggil nama...