"Mil, lo yakin mau sekolah? Nggak mau cabut aja?"
Milan memutar matanya malas ketika mendengar hal itu untuk kesekian kalinya. "Luthfi, gue nggak se-lebay itu, oke?"
Luthfi mendengus. "Kali aja lo sedih gara-gara kemaren lo—"
"Sst, jangan banyak omong," ujar Milan yang malas mengungkit-ungkit kejadian hari Minggu kemarin. "Nanti jemput gue lagi ya."
"Males."
Sebenarnya, Luthfi sendiri terpaksa mengantar Milan pagi ini ke sekolah. Meskipun dirinya tidak ada jadwal kuliah hari ini, tetap saja ia malas. Namun mengingat perempuan itu masih sakit hati, ia berencana untuk menuruti segala keinginan Milan.
Yang sepertinya salah besar.
"Kok males? Katanya mau jadi kacung gue," ledek Milan.
Luthfi melempar senyum pahit lalu bergerak mengusap kepala Milan lembut. "Iya, adik."
Milan tersenyum lebar dan melambaikan tangan semangat sebelum keluar mobil. "Gue sekolah dulu ya. Hati-hati di jalan, sampai jumpa dan terimakasih, Luthfi!"
Segalanya terasa ringan pagi ini. Dan Milan berharap seterusnya tetap seperti itu.
✨
"Pagi semua–eh, eh pada ngerjain apaan nih?" tanya Milan melihat teman-teman sekelasnya lantang-luntung menulis kilat di buku.
"Matematika 50 soal," sahut Adera tanpa menolehkan kepalanya yang tetap menunduk sambil menyalin jawaban dengan cermat.
"Muntah kali," komentar Milan sembari menaruh tasnya dan ikut mengeluarkan buku tulis. "Bareng ya, Der."
Adera menggumam tanpa mengatakan apapun. Diam-diam ia menarik napas ketika Milan bergerak duduk di sampingnya, menikmati wangi yang menguar dari tubuh perempuan itu.
Keduanya menulis dalam diam. Adera melirik disela-sela tulisannya, menahan dirinya untuk mengatakan sesuatu tentang kemarin. Ia tahu jelas kejadian kemarin membuat situasi semakin rumit. Apalagi, tadi pagi ia melihat Alex datang bersama Ratu seakan tidak terjadi apa-apa.
Sepertinya Adera harus membuat wajah Alex sedikit biru.
Bercanda. Ia tak sejagoan itu.
Namun penampilan Milan benar-benar menarik perhatiannya saat ini. "Your face looks ... terrible."
Milan menoleh mendengar itu sambil memeriksa wajahnya. "Kenapa?"
"Nangis berapa ember semalem?" tanya Adera meledek.
"Nggak usah bawel."
"Siapa yang bawel?"
"Lo."
"Kok lo wangi autan rasa jeruk, sih?"
"Kok lo ngeselin ya?" ujar Milan terganggu. Ia sedang dalam mood yang baik pagi ini, dan sama sekali tidak ingin merusak hal yang akhir-akhir ini sudah jarang terjadi dalam hidupnya.
Adera tersenyum kaku lalu mengacungkan dua jarinya. "Pis."
Milan memilih melanjutkan tugasnya tanpa menghiraukan Adera yang sedang menatapnya lekat. Cowok itu datang lebih awal darinya, jadi ia memiliki waktu menyalin lebih banyak. Sejujurnya, Milan tidak pernah sedekat ini dengan teman Alex. Meskipun dirinya dan Adera sekelas, tidak banyak interaksi yang terjadi di antara mereka. Kedekatannya hanya sebatas bertanya 'Alex dimana?' atau 'salam buat Alex ya' yang dulu ia lakukan dengan senang hati.
Namun mengingat ucapan Adera tadi, Milan diam-diam membenarkan dalam hati. Semalam, lagi-lagi ia memuaskan dirinya dengan menangis. Meyakini bahwa ini air mata terakhir yang ia keluarkan untuk laki-laki, tidak ada lagi air mata selanjutnya. Milan menangis seiring ingatannya memutar kembali kejadian di masa lalu. Betapa ia menjatuhkan hatinya terlalu dalam, betapa otaknya tertutupi kabut yang membuatnya lupa akan segala hal. Dirinya sendiri yang lebih penting.
Entah hanya Milan yang melebih-lebihkan, atau memang jatuh cinta itu sebenarnya menyenangkan, menarik, dan menantang. Kadang juga membuat rugi. Namun kita bisa belajar sedikit banyak dari cinta itu sendiri. Bagaimana cara menangani pacar ngambek, membagi waktu untuk orang lain, atau bahkan memberi perhatian lebih sampai mungkin dirinya sendiri pun kurang mendapat perhatian.
Atau singkatnya, bucin. Buta Cinta.
Tahu 'kan, gimana hebohnya kalau kata bucin sudah keluar dari mulut-mulut hina yang seakan tidak terima kalau seseorang jatuh cinta?
Dulu Milan juga sering mendapat kalimat-kalimat kebencian dari Rere yang terus menghujatnya dengan, 'dasar bucin. Inget, yang nemenin lo cabut ke toilet waktu pelajaran itu gue, bukan Alex.'
Padahal Rere juga suka gitu sama Dega. Terkadang Milan merasa dikhianati. Hiks.
"Lo udah kelar belom? Tere mau ambil bukunya," tegur Adera sambil merapikan alat tulisnya, kemudian mengambil topinya untuk mengikuti apel pagi.
Milan mengangguk lalu mengikuti langkah Adera keluar kelas usai menutup bukunya asal. "Hari ini cerah ya," ujarnya menerawang.
Mereka berdua berjalan beriringan di koridor menuju lapangan. Keduanya berjalan lambat, menjaga jarak dengan anak-anak lain yang juga keluar kelas karena kepala sekolah mulai mengoceh di speaker memberitahukan untuk segera menuju lapangan.
Adera menatap langit yang sebenarnya sedikit mendung, kemudian kembali menatap Milan yang sedang tersenyum penuh arti dan memutuskan untuk mengangguk. "Iya. Cerah kayak jidat lo."
"Kurang ajar." Milan menabok punggung Adera, membuat cowok itu meringis dan pura-pura terluka.
"Perih banget alig," keluh Adera sambil berusaha meraih punggungnya yang sebenarnya terasa sangat panas.
Mereka berdua terus bercanda dan mengobrol sepanjang jalan menuju lapangan. Milan baru menyadari kalau Adera tidak terlalu buruk, penuh dengan lawakan-lawakan receh yang mampu membuat ia tertawa. Cowok itu lebih santai dan cenderung tidak memperdulikan penampilannya. Bersikap seadanya, sederhana.
Milan tersentak ketika Adera menarik kerah seragamnya, membuat dirinya memekik. "Apaansih tarik-tarik!"
"Lo mau kemana? Kelas kita baris disini," ujar Adera sambil membetulkan posisi berdiri Milan agar di sampingnya.
"Hehehe."
"Tawa lo."
"Ayo baris yang bener!" pekik kepala sekolah setengah emosi membuat Adera dan Milan sama-sama menutup mulutnya.
Juga membuat tatapan Alex beralih lurus ke depan.
✨
Gimana kalo chapter selanjutnya, tamat?
OMG TERIMAKASIH KEPADA DIRIKU DAN OTAK KU YANG TERNYATA BELUM GESER KE DENGKUL INI BISA MELANJUTKAN SISA-SISA CERITA YANG SELALU TERONGGOK MENGENASKAN.
terimakasih to all of you guys yg masi mau baca ampe part ini <3
KAMU SEDANG MEMBACA
Sincerely, Milan
Teen FictionHai, mungkin aku tidak pantas untuk menulis seperti ini. Tetapi aku masih mencintaimu. Sama seperti tigapuluh menit yang lalu, tigapuluh menit yang akan datang, dan seterusnya. Hatiku terus memantapkan jejaknya kepadamu. Meraung-raung memanggil nama...