Chapter 21 || Langit Abu-Abu

749 53 9
                                    

Waktu Milan memanggilnya dengan suara tegas, Alex seakan kehilangan kepercayaan dirinya detik itu. Ia menghampiri Milan yang sedang duduk di sofa ujung kamar, menyilangkan kakinya penuh kuasa. Matanya tajam, bibirnya membentuk garis lurus.

Dan Alex tahu kala itu hidupnya akan berakhir.

Untuk sekedar informasi saja, mereka berdua bertengkar kemarin malam. Pertengkaran kecil, untungnya. Namun seperti yang kita tahu, perempuan selalu benar dengan tingkat kebaperannya itu. Milan enggan berbicara dengannya seharian, sampai akhirnya malam ini Alex memutuskan untuk menghampirinya.

"Kenapa?" tanya Alex usai duduk di lantai dekat Milan. Ia mengusap punggung tangan cewek itu dengan lembut. Tetap berusaha meredam amarahnya.

"Aku mau tanya."

Mendengar ucapan itu, lantas Alex menghela napas berat dan memusatkan pandangannya. "Apa sayang?"

"Kamu suka sama Ratu?"

Alex tersedak dan hampir mati kalau ia tidak buru-buru meraih gelas di meja dan minum sebanyak mungkin. Pertanyaan itu cukup membuat dirinya tersinggung, ingin marah, namun tidak bisa.

"Maksud kamu apa?" jawabnya agak pelan. Dirinya berusaha sebisa mungkin agar tak emosi dan mengatakan segala sumpah serapah yang sebenarnya hanya ingin menunjukkan seberapa besar perasaannya pada cewek itu.

Milan mengedarkan pandangannya liar, terlihat panik. "Abisnya kamu deket gitu sama dia. Aku 'kan takut," jawabnya. "Dia lebih cantik. Kenapa kamu pilih aku?"

Ini lagi. Alex malas sebenarnya kalau harus menjelaskan ulang mengenai hal ini. Milan sudah tahu, bahkan semua orang pun sadar sejak awal, seperti apa hubungannya dengan Milan. Tapi sepertinya, hanya kalimat yang dapat menyelesaikan masalah ini.

"Gini ya, Milan." Alex menarik napas dalam kemudian menangkup tangan kekasihnya. "Aku udah sering ngomong sama kamu. Kenapa aku pilih kamu? Karena aku yakin sama kamu, sama kita. Mungkin memang benar kalau awalnya aku cuma nargetin kamu asal. Tapi ternyata,"

"Ternyata kamu berhasil buat aku berubah, Mil. Kamu bawa perubahan di hidup aku. Itu cukup buat ngejelasin gimana aku sayang kamu 'kan?"

Milan mengangguk. "Peluk."

Mendengar permintaan merajuk itu, Alex tidak dapat menahan senyumnya kemudian menarik Milan ke dalam pelukannya, mengusap rambutnya perlahan dan membisikkan tiga kata itu.

+++

Sebenarnya, pertanyaan itu sudah Milan pendam beberapa hari ini. Pertanyaan itu menggemul di pikiran seakan enggan pergi. Segala hal tentang Alex masih terasa abu-abu, hingga saat ini. Entahlah, masih banyak hal yang belum cukup Milan kuasai untuk memilikinya.

Pagi ini, seperti biasa, Alex menjemput Milan untuk berangkat sekolah. Ia menyunggingkan senyumnya dan menuntun cewek itu masuk lewat pintu penumpang. Entah kenapa, sejak dirinya melontarkan pertanyaan itu semalam, Alex terlihat lebih pendiam dan irit bicara. Terkadang hanya tersenyum untuk membalas ucapan Milan.

"Kok diem aja sihh?" Milan mulai mengunyel-unyel muka Alex gemas kemudian memainkan pipinya. Lagi, Alex hanya tersenyum dan tetap fokus menatap jalan. Respon singkatnya enggan membuat Milan lupa kalau dia pacarnya. Iya, dia masih pacarnya. Gak tau kalau besok. Engga deng.

"Gak papa," jawab Alex pelan.

Milan sedikit penasaran dengan apa yang laki-laki pikirkan ketika mereka sedang banyak diam seperti ini. Are they overthink something? Like all womens do?

Entahlah. Milan tidak ingin berandai-andai tentang apa yang mereka lakukan. Yang jelas, sikap Alex saat ini membuatnya sedikit ... sedih. Ia rindu. Beberapa bulan yang lalu, Milan tidak mengenal sosok Alex sejauh ini. Dia hanya melihatnya dengan teman-temannya, tertawa di pojok kantin, menarik perhatian. Dulu, Milan tidak peduli apa yang ia lakukan. Mau dia terjatuh, atau tertembak mati, Ia bahkan tidak ingin tahu.

Sincerely, MilanTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang