Chapter 15 || Lebih Baik Lagi

752 76 6
                                    

Malam terasa lebih lama dari biasanya bagi Alex. Kini ia terduduk lemas di bangku kemudi, dengan Milan di sampingnya. Usai mengantar Ratu ke rumahnya, Milan mengatakan ingin berjalan-jalan sebentar. Tentu Alex akan menurutinya, terlepas dari segala kesalahan yang telah ia lakukan hari ini.

Milan menyandarkan punggungnya sembari tersenyum kecil menatap gedung-gedung menjulang di hadapannya. Kota Jakarta terlihat kecil dan bercahaya, kalau dilihat dari atap gedung yang menjadi pilihan Milan menghabiskan sisa malamnya saat ini. Lagu berjudul Sementara yang menjadi favoritnya terdengar dari tape, makin membuat pikirannya runyam. Kilas kejadian dua jam yang lalu menghantui benaknya. Napasnya memberat, dan perlahan senyuman di bibirnya pudar.

"I love you." Milan melirik Alex dari ujung matanya, "you know that."

Sebuah sentakan keras menghujam dada Alex ketika mendengar suara perempuan yang dicintainya melemah. Lidahnya kelu, tidak mampu membalas atau bahkan mengeluarkan suara. Hatinya dihujani rasa yang sakitnya berkali-kali lipat dari apapun. Dirinya semakin dirundung perih ketika terdengar isakan pelan yang pilu. Alex memutar tubuhnya dan mencoba meraih tangan Milan, beruntung karena ia tidak mendapat penolakkan. Ibu jarinya mengusap lembut punggung tangan Milan, memberikan sedikit ketenangan pada keadaan perempuan itu.

Alex menarik tubuh Milan kemudian mendekapnya erat, membiarkan air mata membasahi kaus yang dipakainya. Ia meletakkan dagunya di atas kepala Milan dan memberikan sedikit usapan di bahu cewek itu. Mereka bertahan dalam posisi seperti ini selama lima belas menit tanpa suara, hanya ditemani musik yang mengalun, dan angin yang berdesir pelan.

"I'm so sorry."

Terkadang, tak semua hal dapat diselesaikan dengan kata. Terkadang juga, justru mereka lah yang membuat situasi merumit. Banyak orang mengira, dengan sebuah kalimat mendayu, masalah yang mereka hadapi sirna. Namun, hanya beberapa kasus saja yang bisa luluh dengan rayuan seperti ini. Suatu waktu, yang diperlukan hanyalah sepi, dan pelukan yang menemani.

+++

Milan Summer menjatuhkan tubuhnya di kasur setelah menutup pintu kamarnya. Matanya nyalang menatap langit-langit kamarnya yang dihiasi gantungan burung kertas warna-warni. Ia ingat pernah membuatkan satu untuk Alex, dan menyelipkannya di bawah buku cowok itu. Alex tersenyum cerah ketika mendapatkannya, kemudian menempel burung kertas itu di dinding kamarnya. Entahlah, Milan hanya senang memberikan sesuatu yang berhubungan dengannya, agar orang itu mengingatnya.

Ketukan pintu berulang kali terdengar, membuat Milan mau tak mau bangkit dari kasurnya dan berjalan menarik kenop pintu dengan malas. "Ngapain sih lo pada?"

Garry menerobos masuk ke dalam kamar adiknya lalu berbaring asal di kasur. "Hai, dek."

"Hehehe." Maira menyengir lebar sambil mengangkat plastik berisi makanan di tanganya. "Main lah, Mil. Lo gak kangen sama kita?"

Milan menyusul Maira duduk bersila di karpet seusai menutup rapat pintunya. "Ogah," celetuk Milan kemudian membaringkan kepalanya di paha Maira. "Eh, bang."

"Apa?" sahut Garry yang sudah memutar tubuhnya menjadi terlungkup.

"Cewek lo mana, dah? Kok gue gak pernah liat dia kerumah lagi?"

Maira terkekeh sembari membuka bungkus keripik pedas kesukaannya. "Jawab deh tuh, Gar."

"Gak tau." Garry cemberut menanggapi pertanyaan adiknya, "mati kali."

"Lah, kenapa?"

"Dia mutusin gue," jawab Garry datar.

"Karena?"

"Dia nerima perjodohan orang tuanya."

"Hah demi apa?!" pekik Milan kaget kemudian gelak tawa memenuhi seisi kamarnya. Maira memegangi perutnya geli sambil berusaha mengatur napasnya. Garry menatap adik dan kakaknya bergantian. Ia mengelus dadanya pelan, berpikir kapan penderitaannya berakhir.

Sincerely, MilanTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang