Ruangan kelas pagi itu terasa sesak dan hampa bagi Alex. Penjelasan guru yang sedang berdiri di depan kelas hanya dianggap angin lalu yang tidak penting. Laki-laki berkacamata itu berulang kali menghela napas keras, kemudian termenung.
Ratu menyenggol bahu Alex pelan sambil tetap menatap lurus ke depan. "Kenapa, sih? Bengong mulu," katanya.
"Nggak tau juga," balas Alex acuh tanpa menghiraukan Ratu yang sedang menatapnya.
Usapan kecil terasa di bahu Alex ketika cowok itu masih sibuk dengan pikirannya. Keningnya mengerut heran, namun tak juga menolak perlakuan Ratu yang sedikit mengurangi perasaan yang mengganggu hatinya hari ini.
Tiba-tiba saja, Alex menoleh dan berdeham. "Menurut lo, Akmal ganteng nggak?" tanyanya.
"Akmal?" gumam Ratu yang kemudian menopang dagunya di meja. "Lumayan juga."
"Tuh 'kaan."
"Apa?"
Akmal menelungkupkan kepalanya di antara lipatan tangan sembari mendesah dramatis. "Akmal ganteng."
"Lo merasa tersaingi ya?" selidik Ratu. Ia kini memfokuskan pandangannya ke arah Alex. "Emang dia lebih ganteng, sih. Bule-bule gitu. Gemas."
Alex tersedak hebat sampai rasanya ingin memuntahkan seluruh isi perutnya. Matanya memicing sebal, kemudian memilih untuk bangkit dan berjalan keluar kelas tanpa memerdulikan guru yang masih di dalam kelas.
Alex muak dan ingin makan.
Segala persepsi tentang Akmal Gandira dan pesonanya yang membius siapapun jika berada di dekatnya. Rasanya Alex ingin menumpahkan air pel milik Surya, office boy sekolah ke atas kepala cowok berlesung pipi itu, kemudian menusuknya.
Eh, tunggu. Cowok ganteng anti kekerasan.
Namun, jujur saja, sebagai laki-laki, Alex juga memiliki rasa iri dalam dirinya. Mungkin memang ia adalah satu-satunya yang terbaik, terpintar, tertampan, dan tersegalanya, di sekolah. Tapi nyatanya, ada seekor anak kancil yang harus dimusnahkan keberadaannya.
"Lex?"
"Eh, elu," jawab Alex sekenanya saat dirinya duduk di bangku kantin.
Adera mengernyit. "Lemes amat. Kenaps lau?"
"Pms."
Mendengar suara kesal bercampur frustrasi, lantas Adera terkekeh dan memesan makanan untuknya, dan untuk Alex. Dia mungkin sedang stres, dan butuh sesuatu untuk melupakan sedikit beban pikirannya.
Kantin pagi itu terlihat cukup ramai, berhubung beberapa anak sehabis olahraga mampir untuk membeli kudapan. Seperti Adera saat ini, yang duduk tepat di hadapan Alex lengkap dengan setelan olahraganya dan—
Tunggu. Kalau Adera sedang pelajaran olahraga, berarti—
"Alex!"
—Milan juga.
Setelah mengumpulkan sisa-sisa tenaga dalam dirinya, Alex menegakkan tubuh dan tersenyum kecil yang terlihat sedikit dipaksakan. Matanya menatap Milan tak fokus, membuat cewek itu mengernyit heran.
"Kenapa, sih?" tanyanya usai duduk di bangku sebelah kiri Alex.
Kenapa? Dia masih bisa nanya 'kenapa'? Gila kali ah, umpat Alex dalam hati.
"Nggak apa-apa," ujarnya sambil tersenyum hambar. "Adera bilang, kamu tadi digangguin Tama ya?"
"Iya, ih. Masa ya, tadi dia tuh dateng ke kelas, terus duduk samping aku padahal masih ada guru. Aku kesel banget."
KAMU SEDANG MEMBACA
Sincerely, Milan
Teen FictionHai, mungkin aku tidak pantas untuk menulis seperti ini. Tetapi aku masih mencintaimu. Sama seperti tigapuluh menit yang lalu, tigapuluh menit yang akan datang, dan seterusnya. Hatiku terus memantapkan jejaknya kepadamu. Meraung-raung memanggil nama...