Chapter 26 || Thinking for An End?

645 61 9
                                    

Siapa yang mengangkat telepon Milan tadi? Sepupunya? Atau siapa?

Ah, memikirkannya saja sudah membuat Alex mumet. Tapi kalau tidak dipikirkan, dirinya bisa pingsan penasaran. Kenapa pingsan? Karena mati terlalu ekstrem.

"Lex, jangan diem aja dong. Kita kan tadi udah usaha nelpon dia," ujar Ratu tanpa mengalihkan pandangannya dari ponsel. "Mending pesen makanan, gih. Gue laper."

Alex menghela napas, kemudian berjalan ke arah dapur tanpa suara, mengambil beberapa brosur makanan di pintu kulkas, lalu melempar semuanya ke muka Ratu.

"Gila ya lo." Melotot, Ratu mengusap dadanya perlahan, mencoba memberikan ketenangan pada dirinya sendiri.

"Kenapa sih, Rat? Gue 'kan sayang banget sama dia. Gue nggak pernah gini di masa lalu gue. Lo 'kan tau gue gimana."

Ratu menepuk bahu Alex dua kali. "Mending lo lupain dia dulu. Daripada makin pusing, nggak kelar-kelar."

Bahu Alex berjengit mendapat sentuhan listrik dari tangan temannya. Alex menatap lekat Ratu yang kini sedang mengetik sesuatu di ponselnya. Ratu memiliki mata kecil yang menghilang ketika ia senang, pipinya membentuk sebuah bulatan saat cewek itu tersenyum, juga derai tawanya yang ringan dan nyaman untuk didengar. Wajahnya cantik—

"TIDAK!" jerit Alex tiba-tiba membuat Ratu reflek memukul kepala cowok itu dengan gulungan brosur di tangannya. Bersama Alex hari ini sungguh membuat jantungnya terus-menerus memompa lebih cepat. Ratu khawatir di usianya yang muda ini ia harus menemui Sang Pencipta.

Mata Alex bergerak liar sembari ia menggigiti kukunya. Wajahnya terlihat gelisah dan itu sangat tidak nyaman untuk dilihat. Kepalanya dipenuhi awan-awan gelap yang sangat mengganggu benaknya sejak tadi. Alex sendiri sebenarnya tidak ingin mengambil pusing permasalahan hatinya saat ini.

Konflik sederhana-nya dengan Milan, hingga keraguannya tentang pertemanannya dengan Ratu. Ia perlu memikirkan kembali poin kedua. Namun untuk sekarang, sepertinya Alex harus menjalaninya saja.

Entah dirinya mampu atau tidak, ia harus berusaha.

Alex tahu. Cepat atau lambat, dirinya harus menyelesaikan semuanya kalau ia ingin hidupnya tenang dan bahagia. Tentu saja hatinya milik Milan. Tetapi telepon misterius, hari sewaktu Alex berpapasan dengan perempuan menyerupai Milan di kafe, dan ... siapa pria yang bersama perempuan itu, membuat Alex menghela napasnya berat. Jika dipikir-pikir, dirinya malas kalau harus menghadapi hal seperti ini setiap hari. Hatinya tidak tahan. Ingin mati saja.

Enggak, deng.

Harus mulai darimana, ya? Bagi yang punya saran, silakan menghubungi nomor di bawah ini. Hehehe apasih hehehe.

"Gue mau ngomong," tutur Alex lalu meneguk ludahnya pait, "tapi serius ini ya."

Ratu menatap Alex dengan satu alis menukik naik. Bibirnya mencebik sembari ia menyuruh cowok itu cepat mengatakannya karena ia kebelet pipis dan harus segera menuntaskannya kalau tidak ia akan—

"What if i ended up with you afterwards?"

"You joking."

Alex menatap Ratu datar membuat cewek itu berhenti tertawa. Waktu seakan berhenti dan mereka hanya terdiam saling beradu pandang satu sama lain, sampai akhirnya Ratu berkedip kemudian bangkit dari sofa.

"Gue beli cemilan di supermarket dulu," ucap Ratu seiring dirinya berjalan keluar rumah sambil mengipas-ngipas wajahnya yang memanas.

Benar jika pepatah mengatakan bahwa penyesalan memang tidak pernah datang di awal. Alex merutuki dirinya yang sedang telungkup di karpet kamar, merasa bodoh karena perkataannya pada Ratu satu jam yang lalu. Itu yang menyebabkan Ratu tidak kembali lagi ke rumahnya dan memilih untuk pulang dengan alasan cewek itu lupa mengangkat jemuran.

Sincerely, MilanTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang