"Halo?"
"Selamat pagi."
"Ngapain sih, nelpon-nelpon?"
Luthfi terkekeh mendengar gerutu halus dari lawan bicaranya. "Lah, dosa?"
"Ya, nggak dosa. Tapi, ngapain, sih?"
"Suka-suka. Pulsa juga punya gue, kenapa lo yang repot?" Memasukkan segenggam kacang pilus ke dalam mulutnya, lantas Luthfi bergerak mencari posisi nyaman di atas sofa. "Lagi ngapain, Mil?"
"Kepo lo!"
"Galak amat si eneng," cibir Luthfi, "gue ke rumah lo ya."
"Eh, eh ngapain? Nggak ada!"
"Ada larangan buat gue dateng?"
"Nggak, sih. Tapi pokoknya enggak!"
Enggan mendengar ocehan Milan lebih lanjut, Luthfi menekan tombol merah kemudian berjalan dan menaiki dua tangga sekaligus untuk mencapai kamarnya. Dagunya diusap halus ketika ia menelusuri isi lemari pakaiannya. Hari Sabtu siang seperti ini, enaknya memang leyeh-leyeh sambil nyemil dan ditemani perempuan ajaib yang saat ini kurang lebih sudah dua bulan menjadi temannya. Sejauh ini mungkin masih teman.
Usai mandi secepat kilat kemudian pamit pada Bunda, Luthfi lantas langsung meluncur dengan motor matic-nya, berhubung dirinya nggak mau kena macet dan kalau naik motor itu lebih enak mampir kemana-mana.
Berhubung juga Luthfi tahu kalau perempuan itu sangat menyukai cokelat, jadilah ia sekarang berdiri sambil memilih-milih cokelat mana yang kira-kira dapat membuat gendut secara instan.
"Iya, Lex. Nanti gue bantuin."
Luthfi masih dalam posisi diam nya ketika seorang perempuan datang dari arah berlawanan kemudian ikut mampir di rak bagian cokelat dan permen.
"Tenang, sih. Lo tuh nggak usah parno deh," ucap cewek dengan rambut dicepol itu sambil memutar mata malas. "Milan juga pasti bakal ngerti, kok."
Milan?
Berdeham, Luthfi kemudian mengambil beberapa bungkus cokelat lalu berpura-pura memilih lagi agar dapat mendengar percakapan perempuan di sampingnya lebih jauh. Menguping memang dosa, tapi memiliki telinga untuk mendengar tentu bukan sebuah kesalahan, 'kan?
"Iya, Alexandro."
Alexandro.
Hmm, Luthfi seperti pernah mendengar nama itu. Tapi dimana ya? Di tv? Di radio? Atau—
Ah, hari itu, di kafe, bersama si perempuan ajaib.
Seingat Luthfi, Alexandro ini adalah pacar Milan. Tampan, terkenal, pintar, dan segalanya di sekolah. Batuknya pun menawan, katanya. Cih, tipe cowok yang ingin Luthfi habisi dari dunia ini karena gayanya yang selangit.
Namun, melihat air mata Milan meleleh ketika menceritakannya malam itu, membuat Luthfi tak enak hati dan memilih menunda pembantaian terhadap cowok berparas menawan itu.
"Permisi, Mas."
Luthfi mengerjap ketika sadar orang di sampingnya menyelinap ke hadapannya kemudian mengambil sesuatu dari rak. Ia dapat mencium wangi sampo buah segar dari rambut perempuan itu, membuat Luthfi menarik napas dalam-dalam merasakkan kesegaran yang nyata.
Lebay.
"Rat, buruan! Mama udah nungguin!"
"Iya, iya bentar," jawabnya, "bawel lo, Kak."
Kemudian Luthfi menatap kepergian cewek berambut buah itu dengan kernyitan di dahinya. "Rat? Ratih? Ratna?"
Menggeleng, Luthfi memilih untuk pergi membayar dan segera menghilangkan pikiran tentang perempuan itu dari benaknya. Dirinya harus ingat kalau Milan menunggu lelaki tampan ini datang!
KAMU SEDANG MEMBACA
Sincerely, Milan
Teen FictionHai, mungkin aku tidak pantas untuk menulis seperti ini. Tetapi aku masih mencintaimu. Sama seperti tigapuluh menit yang lalu, tigapuluh menit yang akan datang, dan seterusnya. Hatiku terus memantapkan jejaknya kepadamu. Meraung-raung memanggil nama...