‘Sesempurna apapun kopi yang kamu buat, kopi tetap kopi, punya sisi pahit yang tak mungkin kamu sembunyikan,’ Dee—Filosofi Kopi.
“Ayah kenapa sih suka sama kopi?” tanya Sam kecil sore hari itu. Mereka berdua tengah duduk di depan tv. Hitam dengan secangkir kopi hitamnya, dan Sam dengan semangkuk besar popcorn manis kesukaannya. “Kata Bunda kopi itu pahit, nggak enak.” Sambungnya, beriringan suara tawa tokoh kartun Spongebob Squarepants yang tengah tayang di tv.
“Coffee doesn’t ask silly question, coffee understand.” Sam tidak menyaut, anak kecil itu malah diam menatap sang Ayah. “Rasa kopi tergantung sang peminum.”
“Jadi kenapa Bunda nggak suka kopi?” Tanyanya lagi, anak seumuran Sam memang tingkat keingintahuannya meningkat berkali-kali lipat.
“Kamu tanya Bunda aja.”
“Bunda bilang suruh tanya Ayah.”
“Sam kamu bisa ngomong ‘Hash-Slinging Slasher’?” Hitam mengalihkan topik pembicaran. Dan untungnya Sam cepat melupakan percakapan mereka sebelumnya.
“Hash-Singing Slasher.” Sam menjawab begitu lancar. Mengatakan kata-kata itu begitu jelas tanpa bertele-tele seperti yang dilakukan oleh Spongebob.
“Untung kamu nggak bego kayak—“
“Hitam, language.”
Seorang perempuan muncul dari arah belakang mereka, rambut panjang hitamnya ia biarkan tergerai begitu saja. Kedua tangannya dipenuhi oleh kantung plastik besar yang Hitam terka sebagai barang belanjaan.
“Bunda!” Sam berdiri, menghampiri perempuan itu dan mengabaikan semangkuk popcorn manis kesukaannya. “Ice cream, gimme that ice cream.” Bocah kecil itu memeluk perutnya.
“Minta sama Mbak Rini ya, sayang.”
Setelah itu Sam berlari dengan cepat menyusul Mbak Rini, asisten rumah tangga mereka yang sudah lebih dulu menuju dapur.
“Ke Supermarket pergi belanja, atau ngitungin jumlah barang disana? Lama banget.” Keluh Hitam, posisinya kini sudah berbalik membelakangi tv. Berhadapan langsung dengan perempuan itu yang tengah duduk diatas sofa.
“Kamu itu umur berapa sih? Kok tontonannya masih aja yang beginian?” perempuan itu mengabaikan pertanyaan sarkasme yang sebelumnya Hitam tanyakan.
“Tontonan Sam, jangan suudzan.”
“Baju pesanan kamu udah dijemput?”
“Udah nyonya.”
“Rizal?”
Hitam mengangkat kedua bahunya. “Katanya nggak perlu beli, yang lama aja masih belum kepake.”
“Rizal dimana?”
“Tau, tidur kali.” Jawab Hitam, benar-benar tidak berminat. “Perhatian banget sama Rizal, aku yang ditinggal lama nggak ditanya-tanya.”
“Jangan mulai deh, big baby.” Perempuan itu tertawa. Begitu terdengar merdu ditelinga Hitam.
Tak berapa lama kemudian, dari arah tangga Rizal turun. Masih bertahan dengan baju kaos dan bokser polkadotnya. Sepertinya laki-laki satu itu belum mandi dari pagi, bahkan sekarang waktu sudah menunjukkan pukul lima lebih.
KAMU SEDANG MEMBACA
The Dregs
RomanceSEQUEL MATCHA BLACK COFFEE (COMPLETE-PRIVATE ON) "Jika kopi bisa menggambarkan kehidupan ini, maka hidupku adalah kopi hitam tanpa sentuhan gula. Pahit dari tegukan pertama hingga hanya menyisa ampas." Empat tahun sudah berlalu sejak Hitam memilih l...