"Bian! Kamu gila ya?"Hitam yang tiba-tiba menepikan mobilnya sontak membuat Marissa berteriak. Bagaimanapun hal yang dilakukan Hitam dengan tiba-tiba menepi dan berhenti adalah tindakan yang berbahaya. Bagaimana jika ada pengendara lain dibelakang mereka yang tidak siap dengan manuver yang laki-laki itu lakukan? Tentunya kecelakaan tidak akan terhindarkan lagi.
"Kamu bilang apa barusan?" laki-laki itu bertanya, tidak ambil pusing dengan Marissa yang masih mengutuk kesal.
"Kamu gila ya?"
Terlihat Hitam menggeleng, menolak bahwa bukan itu jawaban yang ingin ia dapat. "Sebelumnya."
"Yang mana?" Marissa mulai terdengar mendesak, tidak mengerti dengan apa yang dimaksud laki-laki disampingnya. Lagipula ia masih mengalami syok akan apa yang barusan terjadi. "Bian!"
Sabuk pengaman perempuan itu Hitam lepas dengan kasar. Lalu tangannya melingkar disekitar pinggang Marissa, membawa keatas pangkuannya. Mengabaikan pemberontakan Marissa yang tentu saja tidak terima dengan tindakan tidak sopan yang Hitam lakukan padanya. Beberapa saat Marissa habiskan dengan memberontak, ia bergerak gelisah hendak kembali ketempat duduknya. Karena dilihat dari sisi manapun posisinya yang berada diatas pangkuan Hitam bukanlah hal yang baik. Sekuat tenaga ia memberontak maka sekuat tenaga pula Hitam menahannya agar tidak beranjak dari sana. Tangannya mengunci kedua lengan Marissa, membatasi ruang gerak perempuan itu dengan sebelah tangannya lagi melingkari pinggang Marissa. Menarik semakin merapat padanya, benar-benar tidak menyisakan sedikitpun ruang untuk Marissa melepaskan diri.
"Rasanya udah lama banget nggak denger kamu panggil aku Bian." Ujar Hitam dengan sebuah senyuman, bertolak belakang dengan Marissa yang memasang wajah kesal.
"Lepas nggak?"
"Cha—"
"Bian!"
"Cha denger—"
"Lepas dulu." Marissa masih bersikeras hendak menyingkir dari pangkuan Hitam. Lengannya yang masih dikunci oleh Hitam ia gerakkan kesegala arah. Sedikit banyak berharap hal tersebut bisa membuat Hitam melepaskan tangannya.
Sama sekali tidak menganggap usaha dari perempuan itu, Hitam malah terkekeh. Melihat Marissa yang mati-matian ingin lepas darinya menjadi hiburan tersendiri untuk laki-laki dewasa tersebut.
"Kamu makin dewasa makin keras kepala dan nggak mau dengerin kata orang lain ya."
"Bian lepas!" setelah lelah memberontak akhirnya Marissa memilih pasrah. Rambutnya sedikit berantakan dan anehnya hal itu terlihat lucu dimata Hitam. Melihat raut wajah jenaka laki-laki itu, Marissa mengambil aksi diam. Sedetikpun tidak berniat melihat sosok dihadapannya yang hanya berjarak kurang lebih sejengkal jari.
"Kamu makin cantik." Puji Hitam.
"Makasih, sayangnya aku nggak butuh pujian kamu."
Tidak lagi menggenggam lengan perempuan itu, kini tangan Hitam membungkus wajah Marissa. Membawa menghadap padanya dan membiarkan kedua tangan perempuan itu yang jatuh bertumpu didadanya.
"Aku mau minta maaf—"
"Aku nggak mau bahas hal itu, yang aku pengen sekarang itu adalah kita sesegera mungkin tiba di restoran." Kepalan tangan Marissa memukul dada Hitam cukup kencang, namun tidak memberikan efek apapun kepada laki-laki itu.
"Kenapa kamu pergi dan menghilang gitu aja?"
Gantian kini Marissa yang tergelak penuh nada sarkastik. "Aku yang sering kamu tinggal menghilang dan dibuang berulang kali biasa aja, kenapa kamu marah?"
Sebuah palu raksasa memukul telak hati Hitam. Entah bagaimana Hitam menyadari bahwa kata-kata tersebut keluar dari hati Marissa yang paling dalam. Menyadari betul bahwa perempuan itu benar-benar tersakiti karenanya.
"Aku cuman butuh waktu, aku kira kamu paham akan hal itu."
"Kamu kira menunggu hal yang nggak pasti itu menyenangkan? Ada banyak air mata dan kesakitan yang harus ditanggung." Napas Marissa terdengar tidak beraturan, emosinya sudah terpancing. Bukannya ingin marah, paksaan untuk menangis jauh lebih dominan didirinya saat ini. Tapi seperti sebelumnya, menangis didepan Hitam seolah menjadi pantangan bagi Marissa. Tidak pernah ingin membiarkan laki-laki itu melihat sisi terlemahnya.
"Kamu cuman perlu menunggu sebentar lagi aja, Cha, waktu itu."
"Kenapa sih kamu itu egois banget jadi orang? Kamu minta untuk aku nungguin kamu, padahal yang kamu lakuin sebaliknya. Kamu nggak pernah repot-repot untuk coba nungguin aku, nyatanya kamu lebih milih sama cewek lain yang ada didekat kamu diwaktu aku pergi." Jari telunjuk Marissa menusuk dada Hitam. Melakukannya berulang kali selama ia mengeluarkan apa yang selama ini mengganjal dihatinya. Terus-terusan untuk semakin menjelaskan bahwa semua kata-kata itu memang tertuju untuk Hitam. "Kamu pikir selama aku pergi, aku nggak tau apapun yang terjadi sama kamu? Kamu pikir aku nggak tau? Sebulan setelah kepergian aku kamu malah balikan sama mantan kamu yang namanya Arumi-Arumi itu? Kurang brengsek apalagi sih kamu itu jadi orang."
Hitam membawa wajah perempuan itu mendekat, menyatukan dahi mereka satu sama lain. Kelopak mata Marissa memejam, menjatuhkan beberapa tetes air mata yang ia simpan mati-matian selama beberapa tahun terakhir.
"Maaf." Kedua ibu jari Hitam menghapus air mata perempuan itu. Ikut merasakan kesakitan yang sama menjalar dari ujung jarinya yang langsung menghantam ke ulu hati.
Kepala Marissa menggeleng, sambil terisak ia berkata pelan, "Kalau aja memaafkan itu ada penghargaannya, mungkin aku yang jadi pemenang karna udah terlalu banyak maaf yang aku kasih buat kamu."
"Maaf, maaf, maaf."
"Stop it," Marissa mencoba menarik mundur wajahnya, tidak sanggup lagi merasakan terpaan napas Hitam didekatnya yang setiap detiknya terasa semakin menyakitkan. Lagi dan lagi Hitam tidak membiarkan perempuan itu menjauh, ia tetap mempertahankan posisi mereka yang terlihat benar-benar intim. "maaf kamu itu nggak merubah apapun, kamu tetap udah jadi tunangan orang lain, dan tinggallah aku yang masih terkukung cinta orang yang jelas-jelas udah punya tunangan."
"Jangan nangis." Titahnya. Bukannya berhasil membuat Marissa berhenti menangis, dua kata barusan menimbulkan sedikit tawa di wajah basah perempuan itu. Benar-benar menggelikan. Bagaimana bisa Hitam melarangnya menangis, disaat dirinyalah yang menjadi alasan kenapa kini Marissa berlinang air mata. Hitam membawa Marissa kedalam dekapannya, memeluk dengan begitu erat. Kepalanya ia tenggelamkan diantara rambut panjang sang perempuan. Ikut merasakan bagaimana tubuh perempuan itu berguncang karena isak tangis. "Apa yang harus aku lakuin agar setidaknya bisa nebus sedikit kesalahan aku?"
"Apa boleh aku minta kamu untuk mengakhiri pertunangan kamu dengan perempuan itu?"
DOOR! UPDATE MALAM BIAR NGGAK BIKIN BATAL PUASA, ADA ADEGAN SEDIKIT BAHAYA/? DAN KENAPA JUGA GUE KASIH PERINGATAN DI AKHIR XD BAKAL JARANG UPDATE NIH KARNA LAGI PUASA, DAN GUE NGGAK BAKALAN BISA NULIS DISAAT PERUT KOSONG, DAN MALEMNYA GUE TARAWEH. PALING NTAR DISEMPET-SEMPETIN PAS KELAR TARAWEH, JADI NGGAK BAKALAN JANJI UPDATE CEPET :"3 DAN SELAMAT MENUNAIKAN IBADAH PUASA BUAT YANG MENJALANKAN. GUE MINTA MAAP YE KALO ADA SALAH-SALAH KATA/? ATAU SALAH-SALAH KETIK XD
REGARDS, YOUNGKERBELL
06 JUNI 2016
KAMU SEDANG MEMBACA
The Dregs
RomanceSEQUEL MATCHA BLACK COFFEE (COMPLETE-PRIVATE ON) "Jika kopi bisa menggambarkan kehidupan ini, maka hidupku adalah kopi hitam tanpa sentuhan gula. Pahit dari tegukan pertama hingga hanya menyisa ampas." Empat tahun sudah berlalu sejak Hitam memilih l...