VOTE KUY?
SORRY FOR THE SUB TITLE LIKE REALLY SUCH A SH*T
Guncangan yang cukup kuat di lengannya membuat Marissa membuka mata dan dengan cepat terduduk. Matanya mengerjap beberapa kali menyesuaikan keadaan sekitar. Cahaya terang yang masuk lewat jendela balkon membuat matanya memejam kembali. Gerakan itu membuat cairan bening mengalir di pipinya. Lalu ketika ia mengusap cairan tadi Marissa sadar, dirinya menangis.
"Hei, hei, Cha."
Marissa menoleh ketika Hitam duduk di tepi tempat tidur. Tangan laki-laki yang tengah menggunakan baju handuk itu menangkup wajahnya.
"Are you okay?" tanyanya.
Menundukkan kepalanya, Marissa bingung bukan main. Apa yang dilakukan Hitam di sini? Dan kenapa laki-laki itu bersikap seolah-olah tidak ada yang terjadi sebelumnya. Memperlakukan dirinya seperti semuanya baik-baik saja.
Air mata Marissa yang kembali mengalir membuat Hitam semakin panik. Tangannya mengangkat wajah Marissa yang terlihat enggan dan memilih kembali menunduk. Isakan kecil yang lolos dari mulutnya semakin menghantarkan kepanikan Hitam ke tingkat darurat.
Jika ditanya pun Marissa juga tidak mengerti. Masih menahan isakannya agar tak semakin menjadi ia menyadari keberadaan sebuah cincin di jari manisnya. Jari yang sebelumnya tersemat cincin pemberian Hitam. Isak tangisnya tak lagi terdengar, perempuan itu bahkan kini malah mengerutkan dahinya.
Kenapa cincin itu bisa kembali ada di jarinya?
Dan lagi kenapa Hitam masih ada di sini? Bukankah seharusnya laki-laki itu sudah pergi bersama Arumi? Salah, seharusnya dirinyalah yang dipertanyakan karena masih ada di kamar itu. Sudah sepantasnya Marissa sadar diri. Hitam sudah menentukan pilihan dan itu bukanlah dirinya. Jadi untuk apa lagi dia berada di sini, di sekitar laki-laki itu?
Tanpa diduga-duga Hitam sebelumnya, Marissa menepis tangannya. Dalam sekejap perempuan itu berdiri dari ranjang sambil berjalan cepat hendak meninggalkan kamar itu. Bahkan panggilan Hitam yang berulang kali terdengar terus ia abaikan.
"Marissa!" panggil Hitam akhirnya hilang kontrol karena selalu diabaikan. Bahkan tanpa disengaja ia menarik paksa lengan perempuan itu hingga berbalik dan menubruk dadanya. "Kamu mau kemana?"
"Pulang," katanya sama sekali tidak menatap laki-laki itu. Pandangannya sengaja ia arahkan ke balik bahu Hitam.
"Kenapa mendadak, aku pikir-"
"Aku mau pulang, Bian." Marissa hampir saja berteriak kalau tidak mengingat posisi mereka yang kini begitu dekat. Saat ini Marissa merasa begitu emosi sampai-sampai rasanya ia ingin berteriak di depan wajah laki-laki dihadapannya. Benar-benar ingin mencakar wajah Hitam yang memasang ekspresi seolah-olah semuanya baik-baik saja.
"Oke, kita pulang kalo kamu udah jauh lebih tenang," ucap Hitam akhirnya menyerah.
"Aku bisa pulang sendiri."
Hitam menarik napas berat. "Kamu marah karna kejadian tadi malam? Aku pikir-"
"Kejadian apa?" dahi Marissa kembali membentuk kerutan.
KAMU SEDANG MEMBACA
The Dregs
RomanceSEQUEL MATCHA BLACK COFFEE (COMPLETE-PRIVATE ON) "Jika kopi bisa menggambarkan kehidupan ini, maka hidupku adalah kopi hitam tanpa sentuhan gula. Pahit dari tegukan pertama hingga hanya menyisa ampas." Empat tahun sudah berlalu sejak Hitam memilih l...