Bab 33. She is Our Bestfriend, Right?

1.4K 156 12
                                    

vote dulu boleh dong ya? :"V


Meja kayu yang ada di depannya menjadi sasaran kemarahan Hitam. Kakinya menendang meja kayu tersebut hingga sudutnya menghantam sofa dimana Rizal duduk. Biasanya Hitam tidak akan bersikap sebrutal ini. Seburuk apapun emosinya. Tapi mengingat bahwa dirinya diperlakukan seperti orang bodoh, menjadi satu-satunya orang yang tidak tahu menahu mengenai hal ini. Tanpa diduga-duga perasaan kesalnya membuncah. Memenuhi rongga hatinya sampai-sampai ketika Rizal menjawab bahwa laki-laki itu juga sudah mengetahuinya dari awal, kemarahan itu semakin menjadi-jadi. Seperti singa liar yang baru saja memasuki karantina untuk pelatihan sirkus.



Pun Marissa yang biasanya selalu mencoba untuk meredam emosi laki-laki itu memilih diam. Dia berpikir, amarah sesekali memang butuh dilampiaskan. Karena sesuatu yang selalu dipendam tidak akan berakhir dengan baik.



Hitam mengusap batang hidungnya. Punggungnya tersandar ke sofa sepenuhnya. Dengan mata terpejam ia berujar. "Jadi kenapa lo nggak bilang ini sama gue dari awal?" gumamnya tak luput dari pendengaran Rizal dan dua orang lainnya.



"Karna gue tau lo pasti bakalan mundur dan ngedorong Arumi ke gue."



"Kalo itu emang yang terbaik, gue dengan senang hati mengalah."



Rizal menggeleng, seratus persen menolak ide Hitam. "Hal itu yang gue hindarin." Kepalanya menggeleng pelan. Lalu berkata, "Kalo gue bersikap egois, semakin banyak pihak yang tersakiti. Apa bagusnya dari gue yang berpura-pura membalas perasaan Arumi disaat ada seseorang yang lebih bisa mencintai dia, yaitu elo."



"Tapi kalo begini tetap Arumi yang jadi korban." Marissa menyela. Dia yang awalnya begitu enggan hanya untuk sekedar menyebut nama perempuan itu mendadak berubah. Alih-alih menyalahkan Arumi yang selama ini memakai topeng, malah hatinya sedikit merasa iba. Mungkin karena faktor mereka yang sama-sama seorang perempuan atau karena faktor lainnya yang tidak ingin Marissa pikirkan lebih jauh.



Mendadak perasaan bersalah menyerang Marissa. Bagaimana dulu ia memiliki rencana dengan Rizal untuk menjauhkan Arumi dari Hitam. Wajar dulu kalau Marissa menerima tawaran dari Rizal, tapi sekarang ia benar-benar merasa bersalah. Bukan rasa bersalah seperti itu, karena memang Arumi tidak pernah mencintai Hitam, jadi jika mereka dipisahkan bukanlah hal yang salah. Tapi lebih ke perasaan bersalah karena sudah bersikap kurang baik kepada perempuan itu. Setiap sikap yang Arumi ambil selalu memiliki alasannya tersendiri. Sama seperti apa yang dirinya lakukan. Jadi menyalahkan perempuan itu bukanlah keputusan yang benar.



"Gue tau seharusnya gue nggak memanfaatkan perasaan Hitam, tapi apa gue punya pilihan?" tanya Arumi mengiba. "Gue cuman kepengen selalu ada didekat lo, juga Hitam. Bukan cuman karna gue takut pisah dari lo, tapi gue juga takut kehilangan Hitam, sahabat terbaik gue."



"Lo takut kehilangan Hitam atau takut kehilangan sumber keuangan lo?" tembak Rizal tanpa tedeng aling-aling. "Lo manfaatin Hitam yang nggak tegaan dan cenderung nggak tegas dalam masalah pribadi, apalagi menyangkut orang-orang yang dia sayang. Apa ini nggak terlalu munafik mengkambing-hitamkan persahabatan disaat kenyataannya lo nganggap Hitam nggak lebih dari pohon uang yang bisa lo petik kapan aja lo mau?"

The DregsTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang