Bab 12. I Hope So

1.2K 150 18
                                    

                  

                  


            Marissa menerima handphonenya yang diberikan Hitam. Meletakkannya di bupet samping dispenser. Memilih mendudukkan diri di meja makan, mengingat dirinya belum menyentuh sedikitpun makan malam.





"Nggak nyangka kalo Sam setertarik ini sama kamu." Matanya menuju Hitam yang sudah duduk manis, berseberangan dengannya. Laki-laki itu berbicara sambil menumpu dagu dengan tangan kanan. "Selain ayahnya, kamu juga berhasil bikin anaknya tertarik dan jatuh hati sama kamu." Niat Hitam bercanda, tapi yang dituju malah seperti tidak tertarik. Marissa hanya menatapnya lurus, dalam diam.





"Kamu nggak pulang?"





Kening Hitam dihias kerutan mendengar pertanyaan penuh sarkasme dari perempuan itu. "Pulang?" Marissa mengangguk. "Kamu ngusir aku? Katanya mau makan malem bareng." Menegakkan punggungnya, Hitam menatap lekat-lekat kearah Marissa. Sekedar untuk mendapati ekspresi keengganan yang begitu jelas.





"Kata Sam, tunangan kamu itu udah masak banyak, tapi kamu malah nggak makan malam dirumah." Jelasnya, kerutan didahi laki-laki itu berganti dengan kedua alisnya yang terangkat bersamaan. "Kamu udah ada janji makan malam dirumah sebelumnya?"





Mendapati suara Marissa yang kental dengan nada ketidaksukaan membuatnya mengulum senyum. Kini Hitam mengerti kenapa Marissa yang sebelumnya terlihat bersemangat untuk memasakkannya makan malam, tiba-tiba berubah menjadi sulit dipahami seperti ini. "Kamu—cemburu?"





Wajah jenaka yang ditampilkan Hitam malah semakin menyulut api kekesalan didalam diri Marissa. "Siapa bilang aku cemburu?" elaknya memalingkan muka. Lalu, "lagian aku siapa sih, mana ada hak untuk cemburu."





Beranjak dari posisinya, Hitam berjalan kearah Marissa. Menarik kursi disebelah perempuan itu dan duduk disana. Ia memutar kursi Marissa yang awal menyampinginya, kini berposisi saling berhadapan dengan tempat ia duduk. Marissa tidak habis pikir, apa dirinya seringan itu sehingga sepertinya Hitam tidak memerlukan banyak tenaga untuk memutar tubuhnya bersamaan dengan kursi yang ia duduki. Atau mungkin memang Hitam yang memiliki tenaga kuda.





"Cha," dengan enggan ia membalas tatapan Hitam. Ditambah laki-laki itu membungkus kedua tangannya, menggenggam jemarinya dengan begitu erat. Ayam semur dan tumis kangkung yang sejak tadi sudah tersedia diatas meja terabaikan. Bagi mereka, menatap satu sama lain saat ini jauh lebih menarik. "Semuanya butuh proses, dan proses itu juga memakan waktu."





"Tapi aku nggak mau dijadiin selingkuhan."





Hitam menolak pernyataan yang diucapkan Marissa. Ia menggelengkan kepalanya sebelum berkata dengan suara menenangkan. "Siapa bilang aku jadiin kamu selingkuhan? Nggak ada, dan kamu nggak perlu khawatir tentang hal itu."





"Terus apa namanya perempuan yang berhubungan sama laki-laki yang udah punya tunangan, kalo bukan selingkuhan?" tanya Marissa penuh desakkan.





Terlihat Hitam menghela napas. Kenapa rasanya sulit sekali untuk membuat Marissa paham? Paham bawah dirinya tidak memiliki niat agar Marissa terlihat seperti seorang selingkuhan. Demi apapun, ia tahu bahwa Marissa adalah perempuan baik-baik. Dan sampai kapanpun titel 'selingkuhan' tidak akan pernah cocok disandingkan dengannya. Tapi ia juga tidak bisa menentukan apa yang terbaik untuk saat ini. Hitam hanya butuh waktu.





Dan berada diantara dua pilihan yang serba salah bukanlah hal mudah. Hitam tidak boleh salah langkah. Meski pada kebenarannya apapun pilihannya nanti akan ada yang tersakiti, tapi setidaknya Hitam ingin meminimalisir kemungkinan itu.





"Kamu tau 'kan kalo aku cinta sama kamu?"





"Kalo kamu cintanya sama aku untuk apa lagi kamu pertahanin pertunangan kamu sama perempuan itu?"





Kelopak mata Hitam memejam. Mendapati pertanyaan yang paling ia hindari terlontar dari mulut Marissa. Hitam sama sekali tidak mengantongi jawaban akan pertanyaan tersebut.





Memang benar, kalau dia sungguh-sungguh mencintai Marissa kenapa ia malah bertunangan dengan Arumi?





Atau, jika benar dia bertunangan dengan Arumi karena mencintai perempuan itu, bukankah perbuatan yang salah mengingat kini dirinya berada bersama Marissa? Mengumbar kata cinta, mengabaikan kenyataan bahwa dirinya sudah terikat dengan perempuan lain?





Waktu, hal itulah yang kini sedang tidak memihak kepadanya. Tapi sesuatu yang tidak berguna jika Hitam harus menyalahkan waktu.





Seandainya saja Hitam bersabar sedikit saja untuk menunggu Marissa, tentu saja ia tidak akan dihadapkan pada situasi seperti ini. Seandainya dia sepenuhnya sudah melupakan Marissa dan memantapkan hatinya untuk bertunangan dengan Arumi, pastinya ia tidak akan berperang dengan hati dan pikirannya seperti sekarang.





"Kasih aku waktu untuk memperbaiki semuanya." Suara Hitam memohon, tangannya yang masih menggenggam tangan Marissa mengerat. Memberikan isyarat meyakinkan bahwa ia benar-benar serius.





"Apa kamu yakin, penantian aku kali ini nggak akan sia-sia? Empat tahun yang lalu aku udah kasih kamu kesempatan yang sama berulang kali, dan kamu pikir aku mau ngerasain kekecewaan dan kesakitan yang sama untuk kesekian kalinya?"





Mulut Hitam membisu. Kata-kata yang sudah ia pelajari sejak masih kecil perlahan terhapus dari otaknya. Menguap bersamaan dengan kepulan asap tak terlihat ketika ia berpikir keras. Apa dia harus menjanjikan sesuatu yang bahkan dia sendiri belum tahu bagaimana kedepannya?





Tapi kemudian laki-laki itu mengangguk. Menyanggupi bahwa tidak akan ada lagi kesakitan yang dirasakan oleh Marissa. "Semoga, aku juga nggak bisa ngebiarin kamu terluka lagi dan lagi karna kebodohan yang aku perbuat." Kedua tangan Hitam melingkar disekitarnya, merengkuh perempuan itu kedalam sebuah pelukan menghangatkan. "I hope so, semoga." Berulang kali Hitam merapalkan kata itu, mensugesti dirinya dan menjadikan sebuah doa. Berharap semuanya akan baik-baik saja, menampik kenyataan bahwa tidak ada yang akan baik-baik saja mulai sekarang.





Ketika dirinya memutuskan untuk berhubungan dengan Marissa, disaat sebuah cincin melingkar dijari manis, tanda akurat bahwa dirinya sedang tidak sendiri. Ada Arumi yang kini berstatus sebagai tunangannya. Orang yang tentu saja akan menjadi korban ketidakadilan akan keputusan yang ia ambil.





yah dan gue update karna ada satu orang yg maksa banget untuk gue update cepet (Ratnasaridewii) sengaja disebutin biar orangnya tau xD dah update kan gue? puas lo, gue lagi puasa dipaksa nulis sadh _,_ begadang nih gue tadi malem ampe jam 1 semoga hasilnya nggak mengecewakan ya :"V


10 Juni 2016


p.s/ kalo sempet ntar malem gue juga update lagi, doain aja gue dapet mood bagus untuk nulis.

The DregsTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang