Bab 34. It Will Never Happen

1.3K 144 3
                                    

       

Vote dulu boleh dong ya? :"V



Malam terus berlanjut semakin larut yang sayangnya tidak mampu membuat keinginan dua orang laki-laki dewasa itu untuk terus duduk saling berhadapan menyurut. Meski tidak saling pandang dan tenggelam dalam kesenyapan nyatanya tetap mampu membuat mereka memilih bertahan diposisi awal.





Telapak tangan Hitam terangkat, mengusap wajahnya yang terlihat kuyu. Selain karena sudah terlalu lama terjaga, pikirannya yang terus berkecamuk juga menjadi penyebabnya.





"Mending lo solat tahajud, deh." Untuk pertama kalinya setelah hampir satu jam ditinggal Marissa—mengantarkan Arumi yang masih saja terus menangis ke kamar tamu— satu diantara dua orang itu bersuara. Meskipun Rizal sama sekali tak menanggapi saran darinya, Hitam tetap saja melanjutkan. "Di tengah masalah kayak gini, solat tahajud selalu bisa jadi obat yang terbaik."





Seperti yang sudah bisa Hitam duga, tidak ada tanggapan apapun dari orang yang ia ajak berbicara. Setelah menghabiskan lima belas detik lagi hanya untuk berdiam, Rizal memejamkan matanya erat-erat sebelum beranjak. Ada baiknya ia menuruti saran Hitam, walaupun tidak mengelak jauh di dalam hatinya ia juga menginginkan laki-laki itu melakukan solat tahajud. Kalau bisa juga sekalian di rukiyah.





Baru saja kaki Rizal terangkat hendak meniti anak tangga pertama, suara Hitam menginterupsi.





"Terkadang, segala sesuatunya itu nggak cukup kalo cuman dilihat dari satu sisi." Rizal menoleh. "Apa yang lo anggap baik itu belum tentu yang terbaik buat orang-orang disekitar lo," lanjut Hitam sedikitpun tidak beralih dari pandangannya yang menerawang. "Nggak ada salahnya lo mencoba untuk berbagi. Meminta saran dan bertanya tentang pendapat orang lain itu bukan hal yang hina, terlebih segala sesuatunya itu berhubungan langsung dengan orang tersebut."





Beberapa detik setelahnya Rizal masih menunggu. Menyadari Hitam yang tidak melanjutkan kata-katanya lagi, barulah ia kembali melangkah menaiki satu persatu anak tangga. Tiap langkah yang ia ambil dengan pikiran yang berbeda-beda. Satu anak tangga dengan pertanyaan, satu anak tangga lagi yang tanpa jawaban. Begitu terus, termasuk langkah perlahan yang kemudian menenggelamkan tubuhnya dibalik pintu kamar.





***





Paginya, Marissa terlihat sibuk di dapur. Selagi menemani Sam yang tengah menghabiskan roti bakar selai cokelatnya, Marissa memasak bubur untuk Arumi yang pagi ini mengeluh tidak enak badan. Sabtu pagi yang cukup tenang karena dua orang laki-laki yang biasanya selalu berseteru masih belum menampakkan batang hidungnya.





Tidak lama, Rizal turun. Masih dengan muka bantal dan rambut acak-acakan ia menyambar roti yang belum dibakar dan memakannya begitu saja tanpa repot-repot mengoleskan selai, alih-alih membakarnya terlebih dahulu. Ia mencium puncak kepala Sam dan kedua pipi anak itu sebagai ucapan selamat pagi, sebelum beralih menjatuhkan tubuhnya di kursi. Matanya mengedar sekitar, dahinya sedikit mengerut ketika hanya mendapati Marissa dan Sam yang ada disana.





"Siapa yang sakit?" tanyanya saat Marissa menyalin bubur yang baru saja selesai ia masak ke dalam mangkuk.





Kepala Marissa mendongak. "Arumi," jawabnya tanpa repot-repot menjelaskan lebih detil.





Cukup lama Rizal diam sambil memperhatikan Marissa yang meletakkan mangkuk berisi bubur, segelas air putih, dan beberapa pil penurun demam ke atas nampan. Sepertinya benar apa yang dikatakan Marissa bahwa Arumi sedang sakit, demam tepatnya. Tapi rasanya semalam perempuan itu terlihat baik-baik saja, terlepas dari apa yang terjadi.





The DregsTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang