Sudah hampir tiga puluh menit Rizal mondar-mandir diruang tamu. Matanya tak henti-henti melirik arloji yang melingkar di pergelangan kiri. Memastikan sudah jam berapa hampir dua puluh tujuh kali dalam satu menit.
Melihat Papanya yang tidak ada beda dengan setrikaan membuat Sam menggelengkan kepala. Beberapa pasang lego yang berserakan di atas karpet dan sedang ia coba rakit menjadi tidak menarik lagi. Sam penasaran, tapi terlalu takut untuk bertanya. Dia tidak ingin mendapat jawaban yang paling malas didengarnya. Jika saja Sam tetap bertanya, percayalah jawaban yang akan didapatkannya tak jauh-jauh dari bahwa ini adalah permasalahan orang dewasa, dan anak kecil sepertinya belum boleh untuk ikut campur.
Papanya berkata seolah Sam akan selamanya menjadi anak kecil. Tunggu saja sampai Sam dewasa nanti, dia akan—maksudnya, tidak akan apa-apa. Toh dia yakin jika sesuatu yang behubungan dengan orang dewasa selalu ribet. Dan Sam tidak pernah berkeinginan untuk memenuhi otaknya dengan hal-hal yang berbau permasalahan orang dewasa.
Biarlah, jika dewasa nanti Sam pasti mempunyai masalahnya sendiri.
Deru mobil dari pelataran menghentikan segala aktivitas Rizal, termasuk kerja otaknya yang memaksa dirinya untuk bersikap tenang. Tapi sungguh, hatinya sedang dalam kondisi yang tidak baik-baik saja.
"Ayah!" teriak Sam yang lebih dulu menyadari sosok Hitam memasuki pintu. Bocah itu berdiri dari duduknya dan langsung menghambur ke dalam gendongan Hitam. "Mama Tante Cantik!" teriaknya lagi ketika matanya bersirobok dengan Marissa. Melonjak kegirangan, Sam memanjangkan tangannya untuk meminta pelukan dari Marissa meski posisinya tengah dalam gendongan Hitam.
Hitam mencium sayang pipi anak dalam gendongannya, disusul dengan Marissa yang mencium pipi satunya. Mendapat ciuman dari dua orang yang dia sayangi membuat Sam tersenyum begitu lebar. Begitu kontras dengan Rizal yang baru saja setetes keringat jatuh membasahi dahinya.
Ketika Hitam memindahkan Sam ke dalam gendongan Marissa, laki-laki itu berkata. "Tutup mata Sam." Yang dengan sigap langsung dilakukan oleh Marissa. Sebelah tangannya yang terbebas langsung menutupi mata anak kecil itu. Meskipun sempat menolak pada awalnya, tapi setelah Marissa berbisik mengatakan bahwa ini hanya untuk sebentar Sam kemudian diam dan menurut.
Entah kapan, tidak sedikitpun dan sama sekali Rizal menyadarinya. Tiba-tiba saja Hitam sudah berdiri di depannya dan sengatan nyeri langsung menjalar di rahang hingga wajah. Bahkan badannya ikut tersungkur karena pukulan yang diberikan Hitam secara tiba-tiba. Jangankan untuk menghindar, mengetahuinya saja Rizal tidak kalau Hitam akan memukulnya.
Baru saja Rizal mencoba untuk bangkit, rambutnya ditarik keras hingga kulit kepalanya terasa seakan mau lepas dan rintihan kesakitan tidak terelakkan. Rizal yang sudah berdiri dengan sempurna terpaksa harus sedikit membungkuk dikarenakan tubuh Hitam yang lebih pendek darinya. Belum lagi tangan Hitam yang menarik rambutnya merendah.
KAMU SEDANG MEMBACA
The Dregs
RomanceSEQUEL MATCHA BLACK COFFEE (COMPLETE-PRIVATE ON) "Jika kopi bisa menggambarkan kehidupan ini, maka hidupku adalah kopi hitam tanpa sentuhan gula. Pahit dari tegukan pertama hingga hanya menyisa ampas." Empat tahun sudah berlalu sejak Hitam memilih l...