——◊◊——
Di perjalanan pulang, sehabis pesta. Hitam sama sekali tidak mengeluarkan suaranya. Ia hanya fokus menyetir, mengabaikan keberadaan Rizal dengan Sam yang tertidur diatas pangkuannya. Tanpa berniat bertanya, Rizal pun memilih berdiam. Mengerti ketika ada saatnya untuk Hitam memiliki waktunya sendiri. Dan mungkin malam itu adalah salah satu waktu dimana Hitam ingin sendiri bersama pikirannya.
Sesampainya dirumah pun kesunyian masih melingkupi mereka. Berjalan masuk kedalam dalam diam—meskipun biasanya mereka selalu berebut untuk memasuki pintu terlebih dahulu—tapi untuk malam ini pengecualian. Dengan menggendong Sam, Rizal memilih langsung kembali ke kamarnya. Selain tidak ingin menciptakan percakapan yang dirasa tidak pada waktunya dengan Hitam, tubuhnya yang juga sudah lelah berteriak untuk segera diistirahatkan. Jadilah mereka berpisah, Rizal menaiki tangga dan Hitam yang langsung memasuki kamarnya.
Melepaskan jas dan sepatunya, Hitam langsung membaringkan tubuh diatas tempat yang dikenal sebagai tempat dengan gravitasi terkuat sedunia; kasur. Tatapan jatuh kepada langit-langit kamarnya yang bercat putih. Ia melepaskan Rolex yang melingkari pergelangan tangan kiri, meletakkan jam tangan mewah itu keatas nakas tanpa berpaling sedikitpun.
Jujur saja, laki-laki itu juga tidak tau apa yang sebenarnya ingin ia pikirkan saat ini. Pikirannya kosong, tidak tengah memikirkan apapun. Entahlah, tapi dia juga sedang bepikir. Berpikir sesuatu yang tidak tau apa, lebih tepatnya.
"Hidup gue drama banget, dan sekarang gue paham, selama ini sinetron itu lebay bukan tanpa alasan." Tangannya ia tumpu diatas dahi, lengan kemejanya yang sudah tersingsing hingga siku memperlihatkan lengan kokoh berwarna kuning langsat. "Bentar lagi gue jadi sinting," ia mendesah. Memilih memejamkan matanya dan berharap lima detik kemudian ia sudah tenggelam dalam mimpi. "Sebenernya apa sih yang dipengenin sama hati gue?" Hitam bermonolog untuk terakhir kalinya sebelum ia benar-benar jatuh tertidur, dengan sejuta pikiran yang tidak dipahaminya.
——◊◊◊——
Pukul delapan kurang lima menit Hitam tiba dikantor. Hari ini ia berangkat seorang diri karena Rizal tengah mengurus keperluan untuk mendaftarkan Sam ke Taman Kanak-Kanak. Hitam tidak menyangka, bocah kecil yang dulunya masih ompong dengan liur yang memenuhi sekitar mulutnya kini sudah bertumbuh besar. Yang dulunya hanya bisa menggumamkan kata-kata tidak berarti kini sudah bisa diajak untuk berkonspirasi. Lucu ketika sadar waktu begitu hebat untuk mengubah keadaan sekitar. Tidak peduli siap atau tidak, yang waktu tau hanya terus berputar. Tidak ambil pusing ketika banyak orang yang menyumpah agar waktu dihentikan.
Tanpa canggung ia memasuki lift yang dikhususkan untuk petinggi perusahaan. Beberapa karyawan menyapanya dan Hitam membalas dengan sebuah anggukan kecil. Ia segera melangkah ketika pintu lift terbuka dilantai paling atas, lantai yang hanya dihuni olehnya dan Rizal—ditambah seorang sekretaris.
"Bacakan agenda saya hari ini." perintah Hitam sambil lalu memasuki ruangannya.
Riri, selaku sekretaris Hitam yang sudah bekerja selama hampir tiga tahun mengangguk paham. Dengan tanggap ia mengikuti Hitam yang sudah menghilang kedalam ruangannya.
KAMU SEDANG MEMBACA
The Dregs
RomanceSEQUEL MATCHA BLACK COFFEE (COMPLETE-PRIVATE ON) "Jika kopi bisa menggambarkan kehidupan ini, maka hidupku adalah kopi hitam tanpa sentuhan gula. Pahit dari tegukan pertama hingga hanya menyisa ampas." Empat tahun sudah berlalu sejak Hitam memilih l...