Bab 26. Dilemma

1.3K 139 19
                                    

VOTE DULU KUY?



"Lho? Kok mendadak?" Hitam yang ditanya hanya mengendikkan bahunya. Dia juga sudah menjelaskan alasan kepulangan Rizal yang tiba-tiba karena ada keperluan. "Kemarin katanya mau ke pantai." Marissa berkata dengan lesu.



"Kamu lesu karena nggak jadi ke pantai atau karena kepulangan Rizal?"



"Masih pagi, jangan ngancurin mood orang."



"Tau ah, mau cari kopi dulu," kata Hitam sambil berjalan melewati Marissa begitu saja. Bahkan ia tidak berhenti ketika Marissa memanggilnya karena kesulitan berjalan dengan sepatu hak tinggi yang dipakainya. Jangan berpikir Marissa tidak terbiasa, hanya saja jika disuruh untuk berlari dengan sepatu hak tinggi tentu saja semua perempuan akan mengeluh. Laki-laki memang tidak pernah mengerti pengorbanan perempuan untuk menjadi cantik.



"Masih pagi kok udah ngambek aja sih." Marissa melingkarkan tangannya di lengan Hitam. Membuat Hitam mau tak mau akhirnya memperlambat langkah kaki. "Aku susah jalan nih," katanya, Marissa melanjutkan lagi dengan suara yang sengaja dikecilkan. "Kamu tadi malem ganas kayak kuda liar."



Sudut-sudut bibir Hitam berkedut sebelum menerbitkan senyuman hangat. Ia menarik tubuh Marissa agar semakin mendekat. Memeluk perempuan yang hari ini menggulung rambutnya menjadi cepolan dengan sebelah tangan. Setidaknya cukup untuk membuat Marissa merasa nyaman dan aman.



Tidak lama mereka pun tiba disalah satu gerai Starbucks. Hanya membutuhkan kurang lebih lima menit dengan berjalan kaki karena gerai Starbucks masih terdapat di kompleks yang sama dengan hotel tempat mereka menginap.



Aroma khas kopi langsung menyambut kedatangan mereka. Marissa semakin merangsek ke dalam dekapan Hitam. Terdengar sedikit mesum memang karena Marissa lebih memilih membaui aroma Hitam yang segar seperti aroma buah daripada aroma kopi yang kini tercium dari segala arah. Setelah mendapatkan pesanan mereka—lebih tepatnya pesanan Hitam karena Marissa sama sekali tidak memesan apapun—langsung mencari tempat untuk duduk. Dan sebuah miniset sofa yang berada di sudut ruangan menjadi pilihan.



"Yakin nggak mau pesen?" tanya laki-laki itu untuk ke tiga kalinya dan mendapatkan jawaban yang sama pula untuk ke tiga kalinya, Marissa menggeleng. "Kan ada menu yang selain kopi-kopian."



Marissa kembali menggeleng dan memilih menyandarkan kepalanya di bahu Hitam. Membuat aroma vanila yang lembut memenuhi penciuman Sang laki-laki yang pada akhirnya memberikan sebuah kecupan di puncak kepala Marissa. Ia masih terus menikmati kopi pesanannya dan sesekali mengecek email masuk ke handphone miliknya. Takut-takut jika ada email penting yang terlewat.



"Bian?"


The DregsTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang