"Curang banget sih, kalian berdua milih jurusan arsitek nggak bilang-bilang," rajuk Arumi siang itu. Mereka bertiga—Arumi, Rizal, dan Hitam—baru saja selesai melakukan daftar ulang di salah satu Perguruan Tinggi Negri. Dan yang membuat Arumi kesal bukan main adalah Rizal dan Hitam yang diam-diam memilih jurusan Arsitek. Kalau saja dia tahu kedua sahabat laki-lakinya itu memilih jurusan tersebut, tentunya Arumi juga akan memilih jurusan yang sama. Bukan malah terdampar seorang diri di jurusan Perpajakan.
"Loh? Emangnya Hitam nggak bilang? Gue sih ngikutin Hitam aja." Rizal berpaling sebentar dari brosur universitas yang sebelumnya ia baca.
"Nggak," jawab Arumi. "Lagian mana juga tuh anak?"
"Lagi beli minum, tapi tau deh dari tadi belum balik-balik juga."
"Ngomong-ngomong soal Hitam, kemarin dia—"
"Nggak usah dilanjutin, gue udah denger langsung dari Hitam," potong Rizal.
Perempuan yang tengah menggunakan kemeja putih dan jeans hitam itu menoleh dengan cepat. Menunggu sebentar kalau-kalau saja Rizal melanjutkan kalimatnya, menjelaskan apa yang sudah ia dengar dari Hitam.
"Hitam bilang apa?" suaranya terdengar tercekat. Matanya masih memandang Rizal, tapi laki-laki itu kelihatannya lebih tertarik untuk memperhatikan beberapa orang yang berjalan di tepi lapangan.
"Kenapa lo nggak langsung terima aja?"
Arumi menatap ujung sepatunya. Membenarkan dalam hati bahwa Rizal sudah mengetahui tentang pernyataan cinta Hitam tempo hari. Tentu saja, mereka berdua adalah para lelaki yang tidak akan mungkin menyembunyikan rahasia.
"Gue pikir—kita sahabat."
"He was expecting." Rizal berkata tegas, menjelaskan bahwa apa yang ia katakan benar-benar seperti itulah kenyataannya. "Lo nggak suka dia?" tanya Rizal balas memandang Arumi.
"Suka, tapi bukan suka dalam artian lebih."
"Arumi," panggil Rizal. Perempuan itu mengangkat pandangannya, dan tepat setelah mata mereka saling tatap, Rizal berkata, "lo tau cuman ada dua pilihan, terima atau tinggalkan."
KAMU SEDANG MEMBACA
The Dregs
RomanceSEQUEL MATCHA BLACK COFFEE (COMPLETE-PRIVATE ON) "Jika kopi bisa menggambarkan kehidupan ini, maka hidupku adalah kopi hitam tanpa sentuhan gula. Pahit dari tegukan pertama hingga hanya menyisa ampas." Empat tahun sudah berlalu sejak Hitam memilih l...