Hanya kerutan di kening yang Hitam berikan sebagai reaksi. Dirinya baru pulang dari kantor disaat matahari sudah kembali ke peraduan. Hampir seharian ini ia habiskan dengan beberapa pekerjaan kantor yang setiap harinya terasa semakin menggunung. Dan ketika ia baru saja mendaratkan tubuhnya diatas sofa, Arumi datang dengan segelas air putih dingin dan pernyataan—atau mungkin lebih cocok dikategorikan sebagai perintah—yang sanggup untuk membuat Hitam tersedak ludahnya sendiri.
"Aku mau bulan depan kita udah resmi nikah."
Setelah meneguk air putih dingin yang dibawakan untuknya, beberapa detik kemudian Hitam menyamankan diri dengan menyandarkan punggungnya ke punggung sofa. Kemudian dengan sekali tarikan nafas ia menjawab, "Kok mendadak? Satu bulan itu terlalu singkat untuk persiapan pernikahan."
"Kamu 'kan bisa suruh orang untuk ngurus semuanya." Bangkit dari duduknya, Arumi berpindah ke sebelah Hitam. Sambil mengaitkan jemarinya dengan jemari laki-laki itu, berkata, "Emangnya kamu nggak mau nikah sama aku cepet-cepet?"
"Orang tua kamu emangnya udah bisa untuk balik ke Indo?"
"Mereka sampai kapanpun juga nggak bakalan balik ke Indo."
Intonasi Arumi yang terdengar penuh keengganan otomatis membuat alis Hitam terangkat. "Kenapa? Gimanapun 'kan kamu anak mereka juga."
"Udah ah," bahu Arumi bergerak keatas bersamaan. "pokoknya aku mau bulan depan kita udah harus nikah."
Seakan tidak mau terburu-buru menuruti permintaan perempuan itu, Hitam tidak langsung menjawab. Kalau ia begitu saja mengiyakannya, Hitam takut jika ia akhirnya akan menyesali keputusannya ini. Mengetahui dengan jelas bahwa pernikahan bukanlah perkara sembarangan. Pernikahan menentukan kehidupannya kedepan, apakah dia akan hidup selamanya dengan orang yang tepat—syukur-syukur pilihannya tidak jatuh pada yang salah. Karena bagi Hitam yang namanya pernikahan hanya terjadi sekali seumur hidup.
Padahal, di malam ia memutuskan untuk melamar Arumi, lubuk hatinya yang terdalam seakan sudah begitu yakin bahwa ia akan bahagia untuk menghabiskan sisa hidupnya bersama Arumi. Tapi semuanya menguar begitu saja ketika ia kembali bertemu dengan Marissa. Perempuan itu entah bagaimana bisa begitu mudah merubah keputusannya. Awalnya yang sudah begitu yakin mendadak berubah haluan. Dirinya yang sudah siap untuk berbahagia dengan Arumi mendadak kembali berpikiran bagaimana seandainya jika ia menghabiskan sisa hidupnya dengan Marissa saja? Toh, setelah beberapa hari ini Hitam yakin, Marissa masih sangat-sangat mencintainya seperti beberapa tahun yang lalu.
Kemudian Hitam kembali terduduk disebelah Arumi ketika perempuan itu menepuk punggung tangannya pelan, mengembalikan kesadaran Hitam yang awalnya terbang jauh. Menyadari bahwa ada perempuan lain yang tidak mungkin bisa ia tinggalkan begitu saja. Kehadiran Arumi tentu saja tidak bisa Hitam abaikan, bagaimanapun perempuan itu sudah sangat berjasa selama ini.
"Kamu—" tiba-tiba pemikiran yang baru saja menghampiri benaknya membuat Hitam tercekat. Hal yang patut dipertanyakan karena Arumi yang tiba-tiba saja meminta pernikahan mereka diadakan secepat mungkin. Masih dengan jantung yang berdetak berkali lipat lebih cepat Hitam bertanya pelan, "nggak lagi hamil 'kan?"
Punggung tangan laki-laki itu menjadi sasaran pemukulan oleh Arumi. Matanya melotot tak menyangka dengan jenis pertanyaan yang ditanyakan Hitam barusan. "Ya nggak, lah." Kata Arumi dengan mantap, secara tidak langsung mengembalikan oksigen ke paru-paru Hitam yang sempat menghilang selama beberapa detik.
"Kirain," ujarnya terdengar begitu lega. "Lagian kok tiba-tiba, sebelum-sebelumnya kamu nggak pernah ngebet kayak gini."
"Aku pikir hal baik itu nggak perlu ditunda-tunda, apalagi cuman karena perasaan sesaat kamu ke perempuan nggak tau diri itu." Arumi mengangkat tangannya sedetik sebelum Hitam sempat menyela kalimatnya, kemudian kembali melanjutkan, "Aku paham betul kalau kamu sama perempuan itu ada apa-apanya, terlepas dari ketidaktahuan aku tentang siapa dia sebenarnya. Dan kamu pikir aku bakalan diem aja gitu liat kamu yang udah mulai main serong sama dia? Kamu yang paling tau hal apa yang bisa aku lakuin kalo kamu masih aja tetap berhubungan sama perempuan itu."
Hitam menatap perempuan itu skeptis, sungguh-sungguh tidak menyangka dengan apa yang baru saja ia dengar. Mendengus, Hitam mengalihkan tatapannya sebelum menarik tangannya dengan kasar dari perempuan itu. Berdiri dan berlalu dari sana menuju kamar, meninggalkan Arumi yang menatap kepergiannya dengan jutaan rencana-rencana yang satu-persatu tersusun di otaknya.
Sedangkan diatas sana, di tempat yang tidak terkena penerangan cahaya Rizal berdiri. Keadaan lantai dua yang lampunya tengah padam menyembunyikannya dari penglihatan dua manusia lain yang berada dilantai bawah. Kedua matanya menatap lurus-lurus kearah sofa dimana sebelumnya Hitam dan Arumi berada. Setelah melihat Arumi menghilang dibalik pintu utama, Rizal menumpu tangan kirinya keatas pagar pembatas, tangan kanannya memegang handphone yang tengah menempel ditelinga. Dengan suara hampir berbisik, Rizal berkata, "Well done, Cha."
Cover baru lagi 😂😂😂 doh sebelumnya gue udh pernah ngasitau kalo gue suka gonta ganti cover. Kebiasaan gue yg cepet bosen bikin tangan gatel utk buat cover baru. Dan kemungkinan cover skrg yg final soalnya couple gitu sama mbc 😙😙😙
HAPPY READING EAPS, BONUS SI CAKEP RIZAL...MULAI KEPIKIRAN UNTUK BIKIN MARISSA SAMA RIZAL AJA DI ENDING 😂😂😂 TAPI BELUM PASTI, MUNGKIN GUE MAU NAMBAHIN SATU PEMERAN COWOK LAGI :"V
DAN TERNYATA KIRAN SAMA ATHAR BELUM NONGOL-NONGOL, BELUM KETEMU ALUR YG PAS UTK MEREKA NONGOL HEUHEU20 Juni 2016
KAMU SEDANG MEMBACA
The Dregs
RomanceSEQUEL MATCHA BLACK COFFEE (COMPLETE-PRIVATE ON) "Jika kopi bisa menggambarkan kehidupan ini, maka hidupku adalah kopi hitam tanpa sentuhan gula. Pahit dari tegukan pertama hingga hanya menyisa ampas." Empat tahun sudah berlalu sejak Hitam memilih l...