Bab 32. Telling The Truth

1.2K 164 28
                                    

       

Sempetin vote dulu kuy?





"Tapi gue sama sekali nggak cinta sama Arumi," ungkap Rizal menghasilkan kesunyian yang melingkupi ruangan itu. Meskipun di dalamnya terdapat tiga orang manusia namun tak menjadi acuan bahwa sunyi tak akan datang. "Dan meskipun gue cinta sama Arumi, gue juga belum tentu mau nikahin dia," katanya lagi. Walaupun Hitam dan Marissa tidak bisa mempercayai hal itu tapi mereka tidak ada pilihan. Rizal mengatakannya dengan begitu serius, suaranya bahkan tidak bergetar sedikitpun. Terdengar begitu tegas dan memaksa siapapun yang mendengarnya untuk percaya.





"Kenapa?"





Tiga orang yang ada disana serentak menoleh. Sempat terbesit dipikirannya bahwa yang bertanya itu adalah Marissa, tapi ketika mendapati Arumi yang berdiri tak jauh sambil menggandeng Sam, entah kenapa Rizal begitu yakin bahwa malam ini masih panjang.





Dia pikir, perempuan itu sudah menuruti kata-katanya. Ternyata tidak, perempuan itu masih disini, berdiri tepat empat meter darinya.





"Karna gue jatuh cinta sama lo itu adalah hal termustahil dan hal yang paling nggak masuk akal di dunia ini."





Arumi tertohok. Beberapa detik ia kehilangan napas dan sistem otaknya seakan berhenti dan mengkhianatinya. Hitam dan Marissa juga tak kalah terkejutnya. Bahkan Marissa gantian menatap dua orang yang saling bertukar pandangan itu. Ia mendapati tatapan Rizal yang penuh dengan ketidaksukaan sedangkan Arumi balas memandang dengan nanar.





Hal apa yang sekiranya tidak ia ketahui tentang hubungan Rizal dan Arumi?





Arumi mengayunkan kakinya untuk lebih mendekat, bahkan ia sudah melepaskan tangan Sam yang semula ia genggam. Meninggalkan Sam yang masih berdiri tidak tahu harus melakukan apa kecuali menonton orang-orang dewasa itu. Dengan inisiatifnya Marissa mendekati Sam, menggendong anak kecil itu dan membawanya ke kamar di lantai dua. Ada baiknya dia mengantar Sam untuk tidur daripada membiarkan untuk mendengar apapun yang seharusnya tidak boleh didengar oleh anak kecil.





"Dia yang udah buat aku terpaksa ninggalin kamu ke luar negri." Arumi mengadu, menunjuk Rizal dalam tegaknya dengan mata menatap Hitam. "Dia yang udah ngerencanain semuanya sampai-sampai aku nggak punya pilihan selain ninggalin kamu."





Kepala Hitam menoleh, meminta pembenaran atau penyangkalan atas tuduhan Arumi.





Dengan tatapan Hitam yang masih menusuknya, Rizal menarik napas. "Itu karna Arumi nggak pernah cinta sama lo," jawabnya. Hanya memberi alasan tanpa penyangkalan yang berarti bahwa apa yang dikatakan Arumi benar adanya.





"Lo nggak pernah kasih gue waktu."





"Tiga tahun terakhir ini masih belum cukup buat lo?" Rizal terdengar menantang jawaban dari Arumi. "Terus sekarang apa lo udah bisa cinta sama Hitam?" lanjutnya.





Membisu. Arumi sama sekali tidak bisa menjawab. Kata-kata yang sempat tersusun di otaknya kembali tertelan dan jatuh ke perut. Hal ini membuat Arumi bisa merasakan bagaimana rasanya jika sedang divonis hukuman gantung.





"Maksudnya Arumi nggak pernah cinta sama gue?" Hitam menengahi, jangankan untuk paham dengan situasi yang terjadi, mengerti maksud dari percakapan antara Rizal dan Arumi saja tidak. "Apa ada sesuatu yang lo berdua rahasiain dari gue?"





Kalau saja Rizal tahu waktunya untuk membuka segala sesuatu yang ia sembunyikan dari Hitam adalah malam ini, tentunya dia akan menghindar dari pukulan Hitam tadi—yang sayangnya sama sekali tidak disadarinya. Rizal bukan takut, dan dia tidak sepengecut itu untuk berkata yang sebenarnya. Lagipula keyakinan yang baru datang dihatinya meyakinkan bahwa sekalipun Hitam tahu yang sebenarnya, laki-laki itu tidak akan membencinya karena hal itu. Tapi jika harus berbicara banyak dengan kondisi rahangnya yang tidak memungkinkan—ah! Sudahlah, tidak ada gunanya untuk menyesali hal itu saat ini. Masih banyak hal yang jauh lebih penting untuk ia pikirkan.





The DregsTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang