Bab 19. The Real Bestfriend?

1.2K 158 65
                                    

                  

VOTE DULU KUY?








"You lose." Adalah kata pertama yang Rizal ucapkan setelah Arumi membukakan pintu untuknya. Tidak repot-repot menunggu dipersilahkan, Rizal sudah lebih dulu masuk dan duduk manis di sofa. Ia menunggu sebentar agar Arumi ikut mendudukkan diri diseberangnya. Kemudian ia meletakkan sebuah cincin putih sederhana yang ia bawa keatas meja. Menjawab kebingungan di wajah Arumi akan maksud ucapan laki-laki itu sebelumnya. "It's over."





Arumi menatap tajam benda bundar itu, seandainya jika bisa, sudah dipastikan cincin itu akan meleleh karena tatapan Arumi yang sarat akan emosi. Ia mengangkat kepala, membalas Rizal yang kini menatapnya lekat-lekat. Sudut bibir Arumi perlahan membentuk sebuah senyuman "Bahkan gue belum memulai apapun," katanya.


"Ibuk Rani bakalan nggak suka sama sifat lo yang begini."





"At least her lovely son still love me, no matter what." Arumi menjangkau cincin itu, cincin pertunangannya dengan Hitam. "Nggak ada alesan untuk Ibuk Rani benci sama gue." Lanjutnya setelah mengamankan cincin tadi ke dalam saku gaun tidur yang ia kenakan.





"I'm not."





"You did," kata Arumi dengan percaya diri. Kedua tangannya saling terlipat didepan dada. "Hitam mungkin terlalu sering bersyukur punya sahabat kayak lo, sampai-sampai dia lupa untuk menyesal."





Sebelah alis Rizal terangkat. "Lo terlalu banyak bicara," ujarnya memperingati.





"Seandainya Hitam tau, lo yang jadi dalang keberangkatan gue ke luar negri dan terpaksa ninggalin Hitam. The real bestfriend, tho."





"Dan lo yang dengan senang hati ninggalin Hitam cuman karna diiming-imingi harta warisan, jangan pernah lo ngaku terpaksa. The real b*tch, tho." Rizal beranjak dari duduknya, masih tak mengalihkan tatapannya ia berkata, "Cuman mau bilang, Marissa terlalu sempurna untuk lo kalahin."





"Gue pikir udah saatnya Hitam tau alesan kenapa gue ninggalin dia." Matanya membalas Rizal dengan tak kalah tajam. Bahkan meski dengan suara pelan, kata-kata Arumi cukup berhasil untuk membuat panas telinga laki-laki itu.





Lalu Rizal menghela napas. "Gue pikir bokap lo nggak bakalan seneng kalo tau anak angkatnya udah nggak bisa ngehasilin uang lagi untuk ngebayar perempuan-perempuan simpanannya."





Mata Arumi melebar, tidak percaya dengan kata-kata Rizal barusan. Bagaimana bisa Rizal mengetahui hal tersebut?





"Kemunculan lo yang tiba-tiba terlalu mencurigakan Arumi, belum lagi tagihan kartu kredit Hitam yang setiap bulannya meningkat semenjak kemunculan lo." Kepala Rizal miring sedikit, bibirnya mengerucut seolah tengah berpikir. "Kebetulan dengan kemunculan lo Hitam nggak down banget sejak ditinggal Marissa, anggaplah uang yang selama ini lo pake sebagai bayaran karna udah ngebuat Hitam setidaknya lanjutin Hidup."





Arumi belum mengeluarkan suara apapun lagi sejak bermenit-menit yang lalu. Kedua tangannya yang masih terlipat teremas dengan kuat. Kuku-kukunya bahkan terasa menekan telapak tangannya, tapi terlalu tidak penting karena keberadaannya saat ini tengah terancam.





Dia pikir, mengancam Rizal tentang campur tangannya mengenai keberangkatannya ke luar negeri cukup untuk menghentikan laki-laki itu. Ternyata tidak, Arumi salah besar. Rizal masih memegang kartu as-nya yang paling berbahaya.





The DregsTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang