Pesta masih berlangsung, meski pada kenyataannya Hitam sebagai sang pemilik acara terlihat tidak berkonsentrasi penuh. Meskipun tubuhnya berada disana, tidak ada yang tahu bahwa pikirannya sedang melanglang buana. Berpencar kesetiap sudut ruang dan waktu. Memikirkan apa yang seharusnya tidak perlu ia pikirkan.
"...Hitam?" karena tidak juga mendapat respon, Arumi kembali memanggil laki-laki itu. Dan untuk kali ini ia berhasil. Memecah lamunan Hitam dan membuat laki-laki itu memberikan perhatian penuh kepadanya. "Lagi mikirin apa sih?"
Hitam tergugu, "bukan apa-apa." Jawabnya menggeleng. Berpikir ada baiknya ia tidak memberitahukan apa yang baru saja ia pikirkan.
"Nanti kamu anterin aku pulang ya?" Kata Arumi lagi, kali ini mengangkat topik yang berbeda. Tidak ingin memperpanjang pembicaraan sebelumnya.
"Bukannya kamu bawa mobil?"
"Kamu tega biarin aku pulang sendiri malem-malem?"
"Aku 'kan bareng sama Rizal, Rum." Hitam menerima minuman yang ditawarkan oleh seorang pelayan. Meneguknya sedikit dan kembali mengedarkan matanya kearah para tamu undangan yang masih terlihat sangat ramai. Melupakan fakta bahwa malam sudah semakin larut. "Kamu 'kan tau sejak kejadian itu Rizal nggak bisa nyetir sendiri lagi."
Arumi menghela napasnya. Kemudian mengangguk dengan sebuah senyuman, tidak lagi meminta Hitam untuk mengantarkannya pulang.
Sekali bertemu saja, perempuan yang bernama Marissa itu sudah berhasil membuat perubahan pada sikap Hitam. Bagaimana jika nanti mereka jadi sering bertemu? Bisa-bisa Hitam membatalkan pertunangan mereka begitu saja. Dan rasa-rasanya Arumi tidak sanggup menunggu sampai hal itu terjadi. Secepatnya, dia harus meminta Hitam untuk mempercepat acara pernikahan mereka. Tidak ingin kehilangan Hitam untuk kedua kalinya.
***
"Jadi sekarang PT. Angkasa Tunggal lo yang megang?" Rizal bertanya, tidak menyembunyikan kekaguman dalam suaranya.
"Yah, mau nggak mau sih. Soalnya Papa lagi sibuk ngurusin yang di Aussie. Kalo bukan gue siapa lagi."
Kepala Rizal mengangguk beberapa kali. "Jadi Ibu Direktur dong sebentar lagi." Candanya, menerbitakn tawa ringan diantara mereka berdua. "Jadi lo bakalan lama dong ya di Indonesia?"
Marissa mengangkat bahunya. "Kemungkinan besar gue bakalan pindah lagi kesini."
"Bagus dong, jadi setidaknya lo bisa-"
Melihat Rizal yang sengaja tidak melanjutkan kata-katanya dengan kedua alis yang ia gerakkan menggodanya, sontan Marissa memutar matanya. Lalu sebuh tepukan pelan ia berikan kelengan Rizal. Sedikit kesal karena laki-laki itu mencoba untuk menggodanya. Mereka berdua kembali tenggelam dalam tawa. Menunjukkan bahwa mereka seperti memang benar-benar teman lama yang sudah sangat jarang bertemu.
Hal itu juga tidak luput dari pandangan Hitam yang tengah berjalan mendekat kearah mereka. Ia menatap lurus-lurus, seperti kedua orang yang tengah tertawa itu adalah makhluk luar angkasa. Dan rasanya pandangan Hitam yang terasa begitu menusuk membuat Marissa menyadari ada seseorang yang tengah melihatnya.
Sedetik kemudian dua pasang mata itu saling bertemu. Kali ini tidak ada lagi keterkejutan yang terlihat seperti terakhir kali mereka bersitatap. Malah kini Marissa memberikan sebuah senyuman setibanya laki-laki itu disana. Mengakibatkan sesuatu dihati Hitam merasakan pemberontakan. Memaksanya untuk segera menarik perempuan yang terlihat semakin dewasa dan menawan itu kedalam pelukannya. Menciumnya membabi buta dan tidak akan melepaskan pelukannya sekalipun dunia terbelah menjadi dua.
Terdengar berlebihan memang, tapi itulah kini yang sedang dipikirkan oleh sisi terliar dari seorang Hitam.
"We need to talk." Hitam berujar kepada perempuan itu, tapi pandangannya mengarah kepada Rizal. Memberikan perintah tanpa suara agar laki-laki itu segera menyingkir dan memberikan waktu untuknya dan Marissa berbicara berdua.
Rizal berdeham sekali, kemudian berkata, "Gue nyari Sam dulu deh, takut melipir kemana-mana lagi."
Sepeninggalnya Rizal, tidak ada percakapan yang terdengar antara dua anak manusia itu. Tatapan mata Hitam hanya terfokus kepada perempuan itu. Tapi yang terlihat Marissa lebih memilih memandang kesekitar, sekali-kali ia menyelipkan rambutnya yang sudah memanjang kebalik telinga. Gerakkan sederhana namun entah kenapa terlihat begitu mempesona dimata Hitam.
Dan ketika Marissa kembali menatap kepadanya, ia memberi gerakan untuk mereka agar berbicara dibalkon yang tidak jauh dari tempat mereka sekarang. Seakan paham, Marissa mengangguk dan berjalan terlebih dahulu, diikuti Hitam dibelakangnya.
"Berapa lama kamu bakalan di Indonesia?"
Sesaat setelah tiba dibalkon, Hitam menyandarkan tubuhnya tepat di kusen. Menatap Marissa yang memilih memangku tangannya di atas pagar pembatas. Memandang ke kejauhan memunggungi Hitam. Meskipun terpaut sekitar tiga meter, wangi parfum perempuan itu dapat Hitam rasakan ketika terbawa hembusan angin.
Aroma Green Tea yang sudah lama tidak ia temukan, tapi kali ini terselip sedikit bau Vanilla yang Hitam duga berasal dari wangi rambut perempuan itu. Bahkan dari belakang Marissa terlihat begitu mempesona. Ditambah rambut panjangnya yang begitu indah, membuat siapapun yang melihatnya akan berpikiran sama; dia perempuan yang cantik meskipun yang terlihat hanya tubuh bagian belakangnya. Hitam sendiri juga tidak mengelak akan fakta itu.
"Tergantung," perempuan itu membalas. Tanpa merubah posisinya sedikitpun.
"Tergantung?"
Hening. Barulah beberapa detik kemudian Marissa berbalik, mendapati Hitam yang menatapnya dengan atensi penuh. Kedua tangannya terlipat didepan dada, memperjelas bahwa ia menanti jawaban selanjutnya dari mulut Marissa.
Manik mereka kembali bertemu. Dan didetik yang sama Marissa melarikan pandangannya. Memperlihatkan figur wajah sempurnanya dari samping. Angin malam yang sesekali berhembus menerbangkan anak rambutnya. Menimbulkan rasa gatal di tangan Hitam agar bisa merapikan anak rambut itu, menyelipkannya kebelakang telinga Marissa.
Hitam menggenggam tangannya yang masih terlipat satu sama lain. Menahan gerakan yang tidak berkonspirasi dengan benaknya. Takut jika tiba-tiba tangannya bergerak sendiri. Saat itulah ia tersadar, merasakan sebuah benda yang terasa dingin melingkar dijari manis tangan kirinya. Hal yang menjadi satu-satunya penahan agar ia bertindak secara logis.
"Tergantung?" untuk kedua kalinya Hitam menanyakan hal yang sama, namun dengan getaran suara yang berbeda. Perbedaan yang hanya diketahui olehnya dan Tuhan.
Marissa menatapnya kembali, ia meneguk liurnya sebelum sebuah kalimat meluncur dari bibirnya dengan begitu pelan. "Tergantung seberapa lama aku tahan ngeliat kamu tunangan sama cewek lain." Ujarnya hampir-hampir tak terdengar oleh Hitam.
Keadaan yang tiba-tiba senyap bertepatan dengan kalimat yang dikatakan Marissa cukup untuk telinga Hitam menangkap dengan baik kalimat itu. Menghancurkan pertahanan dirinya sebelum ini. Melepaskan genggaman tangannya sendiri dan mengabaikan benda bundar dijari manisnya. Persetan dengan apapun karena kini yang ingin Hitam lakukan adalah memeluk perempuan itu dan menciumnya sampai kehabisan napas.
Aih 😂 jgn lupa vomment eaps
Maap kalo makin aneh maklumlah gue juga aneh orangnya 😂25 Mei 2016
KAMU SEDANG MEMBACA
The Dregs
RomanceSEQUEL MATCHA BLACK COFFEE (COMPLETE-PRIVATE ON) "Jika kopi bisa menggambarkan kehidupan ini, maka hidupku adalah kopi hitam tanpa sentuhan gula. Pahit dari tegukan pertama hingga hanya menyisa ampas." Empat tahun sudah berlalu sejak Hitam memilih l...