Malam itu Hitam tidak pulang ke rumah. Dan ketika keesokan paginya Arumi datang, masih pagi-pagi sekali. Berniat untuk bertemu dengan laki-laki itu, sayangnya apa yang dia harapkan tidaklah terwujud. Rizal mengatakan bahwa semalaman Hitam sama sekali tidak pulang. Kemungkinan pagi ini Hitam juga akan langsung berangkat ke kantor—tanpa pulang terlebih dahulu—mengingat pukul Sembilan nanti mereka ada jadwal rapat."Kita mau kemana, Bunda?" Rizal yang pagi ini terburu-buru berangkat kekantor menitipkan Sam kepada Arumi seperti biasanya. Setelah menunggu anak itu menghabiskan sarapan, ia langsung membawa Sam kedalam mobil. Yang Arumi inginkan saat ini hanyalah bertemu dengan Hitam.
"Ke kantor Ayah sama Papa, mau 'kan?"
Mendengarnya, Sam mengangguk antusias. Membuatnya terlihat seperti mainan kucing yang biasanya diletak diatas dasbor. "Ketemu sama tante cantik?"
Arumi memberikan senyuman, tidak lagi menjawab pertanyaan menggebu anak berusia lima tahun tersebut. Ketika Sam menyebut 'Tante Cantik' entah kenapa hatinya langsung menyusut sakit. Dia tidak mengerti ada apa sebenarnya antara Hitam dan perempuan yang bernama Marissa itu.
Awalnya memang sedikit janggal ketika pertama kali ia mendapati Hitam dan perempuan itu dipesta. Ada aura perseteruan yang kental diantara mereka. Meskipun Arumi tidak mengetahui jelas tentang hal tersebut, bukan berarti ia tidak menyadarinya. Tapi Arumi mencoba percaya saja ketika Marissa memperkenalkan diri sebagai teman lama Rizal dan Hitam. Kenyataan perasaan yang melingkupi Hitam dan Marissa yang berbeda tidak bisa dilupakan begitu saja. Kalau benar mereka hanya sekedar teman lama, kenapa rasanya berbeda ketika melihat Marissa dengan Rizal? Perasaan takut menyerbu relung hatinya disaat Marissa dan Hitam bersama. Terlihat cocok dan memancarkan aura tarik-menarik yang begitu jelas.
Setelah memarkirkan mobil, Arumi berjalan dengan menggandeng tangan Sam. Kedua orang berbeda umur tersebut langsung memasuki lift, terbiasa datang kesini tidak membuat Arumi merasa canggung. Bahkan beberapa karyawan yang mengenalnya tak jarang menyapa atau hanya sekedar memberikan senyuman.
Setibanya dilantai paling atas, Arumi langsung berjalan menuju ke pintu yang berhadapan lurus dengan lift. Disebelahnya Sam berjalan dengan sambil melonjak kegirangan. Entah kenapa anak kecil satu itu begitu yakin kalau dia akan bertemu dengan Tante Cantik. Entah hanya sekedar perasaan anak kecil atau memang benar akan terjadi.
Melihat meja sekretaris kosong, Arumi langsung saja memasuki ruangan Hitam. Tindakan yang kemudian ia sesali sepersekian detik kemudian. Bukan karena Hitam tidak berada diruangannya, malah sebaliknya. Hitam sedang duduk dikursi lengkap dengan seorang perempuan yang berdiri sambil menyandarkan tubuhnya kesisi meja, membelakangi Arumi.
Mendengar suara pintu terbuka, kedua orang yang berada dibalik meja langsung menghadap ke asal suara. Cukup terkejut ketika mendapati Arumi yang mematung dipintu dengan Sam kecil disebelahnya. Kedua tangan orang itu yang awalnya bertaut dilepas paksa ketika Hitam berdiri dari duduknya. Mendekati dimana Arumi yang masih memaku dipintu
Mengenali sosok perempuan yang kini berdiri diam—dengan sedikit sudut bibir terangkat—, Sam langsung melepas genggaman tangannya pada Arumi. Ia berlari kearah perempuan itu dengan semangat.
"Tante Cantik!" Merentangkan kedua tangannya, meminta untuk digendong.
Marissa tersenyum dan membungkuk, membawa Sam kedalam gendongannya. Anak kecil itu pun langsung melingkarkan tangannya dileher Marissa.
"Hai." Ucap Marissa dengan menggesekkan hidungnya dengan hidung kecil milik Sam.
Kegelian, Sam terkikik senang. "Sam kangen." Sam berkata lucu, membuat Marissa tidak tahan untuk tidak mencium pipi gembil anak itu. Siapa sangka Sam bisa selengket ini dengannya, mengingat ini baru pertemuan kedua mereka.
Melihat Sam dan Marissa yang asyik dengan dunia mereka, Hitam beralih kepada Arumi yang sedari tadi masih berdiam diri. Matanya yang terfokus kepada Sam dan Marissa bergerak, pindah memandang Hitam yang tengah tersenyum.
"Kenapa nggak telpon kalo mau dateng?"
Arumi balas tersenyum, mendekat kepada Hitam untuk mendaratkan sebuah kecupan di bibir laki-laki itu. Kecupan yang sekiranya bisa ditangkap oleh mata Marissa.
"Biasanya juga nggak perlu ngabarin kalo mau dateng." Balasnya. Menautkan jari Hitam dengan jemarinya dan mengusap lengan laki-laki itu dengan tangan satunya. "Nanti makan siang bareng?"
Dengan canggung Hitam melihat kepada Marissa, perempuan itu terlihat mencoba sibuk dengan Sam yang masih bersemangat untuk bercerita tentang apapun. Jelas betul terlihat Marissa mencoba untuk tidak menatap kearah Hitam dan Arumi. Karena semua orang juga tahu kenapa alasannya.
Sentakkan ringan dilengannya melempar Hitam kembali dari pikirannya, menyadari bahwa ada Arumi disebelahnya saat ini. Sebuah anggukan ia berikan sebagai jawaban. Menciptakan senyuman bahagia diwajah cantik tunangannya, Arumi. Mau bagaimana lagi, situasi Hitam saat ini menjadi serba salah.
Kalau saja dia tahu Arumi akan berkunjung kekantornya pagi ini, tentunya dia tidak akan membawa Marissa bersamanya. Memang, Hitam yang menawarkan perempuan itu untuk mampir. Mengingat mereka berangkat bersama-sama dari apartemen Marissa. Kemarin malam Hitam menginap tanpa rencana, menemani Marissa yang menangis karenanya. Setelah perempuan itu tertidur, Hitam memindahkannya ke kamar. Tidak tega juga meninggalkan Marissa sendirian, jadilah Hitam memilih untuk menginap. Dan tidur di sofa ruang tamu menjadi satu-satunya pilihan untuk Hitam.
Alis Arumi naik merasakan Hitam menahan lengannya, menghambat langkahnya yang hendak mendekat ke Marissa. Ia menatap laki-laki itu, dan wajah Hitam dengan kerutan bingung di dahinya menjadi pandangan pertama yang ia dapat.
"Mau kemana?"
Arumi tergelak, menangkap nada posesif disuara Hitam. Nyatanya laki-laki itu hanya tidak ingin membiarkan Marissa dan Arumi berada dalam jarak dekat. Tidak akan mau menunggu apa yang ditakutkannya akan terjadi.
"Mau ngajakin selingkuhan kamu makan siang bareng."
13 Juni 2016
KAMU SEDANG MEMBACA
The Dregs
RomanceSEQUEL MATCHA BLACK COFFEE (COMPLETE-PRIVATE ON) "Jika kopi bisa menggambarkan kehidupan ini, maka hidupku adalah kopi hitam tanpa sentuhan gula. Pahit dari tegukan pertama hingga hanya menyisa ampas." Empat tahun sudah berlalu sejak Hitam memilih l...