Bab 27. Traitor

1.2K 118 31
                                    




No edit sama sekali, semoga nggak ada typo dan kalimat rancu :"V


Jangan lupa vote eaps, komen juga ya karna beberapa bab belakangan komen makin berkurang heuheu bidadari jadi syedih :"(


                  


Nyatanya rencana Hitam dan Marissa untuk menghabiskan waktu beberapa hari lagi di Belitung harus tertunda. Sore harinya Marissa mendapat telepon dari sekretarisnya di kantor bahwa besok pagi ia harus sudah kembali ke Jakarta karena ada rapat yang tidak bisa ia tinggal. Apalagi mengingat posisinya sebagai pemimpin tertinggi PT. Angkasa Tunggal membuatnya diharuskan untuk hadir dalam rapat-rapat besar.





Awalnya Marissa sempat ingin mangkir, tapi disaat sekretarisnya memberitahu bahwa Ayahnya, Zendra, juga akan turut hadir dalam rapat yang diadakan besok. Lalu dengan berat hati mau tak mau Marissa harus sudah tiba di Jakarta besok pagi. Bahkan Marissa juga tidak tahu menahu tentang kepulangan Ayahnya. Mendadak memang, ditambah Zendra sama sekali tidak mengabarkan kepulangannya kepada Marissa.





Malamnya sekitar jam sepuluh mereka tiba di Jakarta. Tanpa repot-repot menanyakan kesediaan Marissa, laki-laki itu langsung saja membawa Marissa kerumahnya. Terlalu lelah untuk mengantar Marissa terlebih dahulu—dengan rute jalan yang memutar lebih jauh daripada ke rumah Hitam—pulang kerumahnya. Pun Marissa juga tidak protes saat akhirnya taksi yang mereka tumpangi berhenti di depan rumah Hitam.





Dua orang itu berjalan bersisian dengan tangan saling menggenggam dan tangan lainnya menarik kopor masing-masing. Keheningan langsung menyergap saat pertama kali Hitam membuka pintu. Bukan hal yang aneh karena Sam tentunya sudah tidur disaat malam sudah selarut ini. Dan Rizal, tentu saja Hitam juga yakin laki-laki itu juga sudah tidur, mengingat kebiasaannya yang tertidur dimana seharusnya dialah yang menidurkan Sam. Bahkan tak jarang Rizal lebih dulu jatuh ke dunia mimpi daripada Sam.





"Kamu langsung ke kamar aja, aku mau cek Sam dulu ke atas." Hitam melepas tangannya, membiarkan Marissa ke kamar miliknya setelah sebelumnya perempuan itu mengangguk patuh. Tubuh Marissa sudah benar-benar lelah sehingga hanya mengeluarkan suara untuk menjawab Hitam rasanya begitu berat.





Matanya seperti diikat beban sebanyak puluhan ton, jadi ia berdiri sebentar sambil menyandarkan kepalanya kedaun pintu. Awalnya Marissa hanya berniat untuk memejamkan matanya beberapa detik untuk menunggu Hitam kembali setelah mengecek Sam, karena bagaimanapun hubungan mereka, memasuki kamar Hitam tanpa Sang empu juga tidak begitu sopan—sekalipun sudah mendapatkan izin. Tapi sedetik kemudian matanya menyipit, dahinya mengerut dan Marissa semakin menempelkan kepala—telinga lebih tepatnya—kedaun pintu. Mencoba untuk mendengarkan baik-baik suara apa yang terdengar samar di telinganya.





Pun dengan cepat Marissa berbalik mendekati Hitam dengan langkah mengendap-endap. Hitam yang baru tiba diujung bawah tangga—setelah mengecek Sam ke kamarnya—menatap bingung kepada Sang perempuan. Tepat ketika Marissa sudah berdiri dihadapannya, perempuan itu mengangkat jari telunjukknya ke depan bibir. Memberikan isyarat kepada Hitam supaya tidak mengeluarkan suara apapun.





Hitam menurut saja ketika Marissa menggiringnya kepintu kamar. Semakin kebingungan karena Marissa hanya membiarkan mereka berdiri di depan pintu tanpa berniat untuk masuk. Mulut Hitam bergerak, bertanya 'kenapa' tanpa suara. Melihat Marissa yang menempelkan telinganya ke pintu, pun seolah diperintah Hitam melakukan hal yang sama.





Samar-samar ia dapat mendengar suara seseorang yang terengah. Dahinya mengerut ketika telinganya mendengar satu suara lainnya. Ada dua orang yang terengah di dalam kamarnya, dan yang lebih parahnya lagi suara-suara itu berasal dari seorang laki-laki dan perempuan. Hitam yakin, maksudnya begitu yakin kalau suara yang terdengar adalah suara laki-laki dan perempuan.





The DregsTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang