Tiga hari setelah Harry diperbolehkan keluar dari rumah sakit, aku dan Harry duduk di sofa rumahku menonton televisi sambil mengobrol dan membahas apapun yang ditayangkan di televisi sambil tertawa.
"Mapple." Harry menolehkan wajahnya ke arahku sementara aku tetap terfokus ke televisi.
"Ada apa? Kau sakit lagi?" Aku segera mengalihkan perhatianku kepada Harry.
"Tidak." Jawabnya tersenyum kecil.
"Lalu kenapa?" Aku mengangkat sebelah alisku bingung.
"Hmm... Aku penasaran... Apa jawabanmu jika aku mengajakmu piknik?" Aku terdiam. Piknik? Oh, yang benar saja.
"Tidak." Jawabku tegas.
"Oh, ayolah, pasti menyenangkan." Bujuk Harry. Aku menggelengkan kepalaku.
"Tidak, Harry. Kau masih harus istirahat." Jari telunjukku mendorong kepalanya ke belakang dengan pelan.
"Tapi aku sudah istirahat tiga hari penuh!" Harry memprotes seperti anak kecil. Harus kuakui, dia sangat menggemaskan.
"Itu belum cukup!" Tegasku tanpa melihat ke arahya.
"Tentu saja sudah cukup!" Harry berdiri dari sofa.
"Kau bisa saja dalam bahaya waktu itu!" Seruku marah sambil ikut pula berdiri menghadapnya.
"Kau hanya memperbesar masalah kecil Mapple." Tuduhnya. Oh, ya, memperbesar masalah. Dia yang pertama mencari masalah denganku.
"Aku tidak memperbesar masalah kecil! Aku menyatakan fakta di sini!" Protesku membela diri.
"Aku sudah sembuh!" Aku memijat batang hidungku perlahan, merasa kesal.
"Vertigo bukanlah hal yang sepele, tuan Styles. Jangan main-main." Aku melipat tanganku di depan dengan kesal.
"Kau menyebalkan."
"Terimakasih atas pujianmu, tuan Styles." Dengan kesal, aku mematikan televisi dan berjalan ke kamarku.
"Mapple..." Panggil Harry, aku hanya mengabaikannya dan tetap berjalan hingga sampai di depan pintu kamarku, "Mapple, kumohon. Jangan marah padaku." Harry menahan lenganku saat aku memutar kenop pintu.
"Kau tidak berhak bertingkah seperti itu," Ucapku dingin dengan wajah cemberut, "Kau harus istirahat maksimal satu minggu penuh."
"Apa?! Mapple, kau serius? Tapi-"
"Kau tidak akan pergi kemana-mana hingga satu minggu ke depan." Ucapku tegas.
"Memangnya apa urusanmu?!"
"Aku khawatir padamu, ya Tuhan! Sadarlah!" Aku melayangkan kedua tanganku ke atas dengan frustasi.
"Kau tidak punya hak untuk mengaturku!" Harry berteriak.
"Tentu aku berhak! Kau sahabatku!" Sesuatu menusuk hatiku saat aku mengatakan kata 'sahabat'.
"Kita tidak pernah jadi sahabat! Sejak kapan kita bersahabat?!" Bentak Harry. Aku menarik napas kaget.
"Beraninya kau..." Aku berjalan ke arahnya perlahan.
"Kenapa? Apa yang akan kau lakukan Mapple?" Kata Harry sambil menyeringai.
"Kau pikir, hanya karena kau sekarang terkenal, aku akan membiarkanmu melupakan persahabatan kita? Coba tebak, tidak. Aku tidak akn membiarkanmu membuang persahabatan kita." Desisku dengan gigi terkatup rapat.
"Ck, dasar jalang." Gumamnya cukup keras. Brengsek.
Merasa kesal, aku melakukan satu hal yang kupikir tak akan pernah kulakukan kepada Harry.
Aku menamparnya. Keras.
"Apa-apaan itu?! Beraninya kau!" Teriak Harry marah sambil memegangi pipinya yang kutampar.
"Kau brengsek, Styles."
"Katakan itu sekali lagi." Harry menggertakkan giginya.
"Apa? Kau akan memukulku? Coba saja kalau kau berani. Dasar pengecut." Aku menyeringai puas.
Saat itu, aku sadar, disaat aku menamparnya, tanpa sadar aku juga telah memukul egonya keras, dan saat itu pula, aku tersadar bahwa Harry Styles yang sekarang bukanlah Harry Styles yang dulu kukenal.
Dia menamparku, sekuat tenaga hingga aku terjatuh dengan hidung berdarah. Aku meringis menahan sakit. Itu sungguh sakit. Kau harus mencobanya.
"Sial." Gumamku pelan.
"Kau benar-benar brengsek Styles!" Aku bangkit berdiri menahan sakit di hidungku. Sial, kurasa hidungku hampir patah.
"Apa sih masalahmu?! Kenapa kau terus menggangguku?! Sejak aku bertemu kau, hubunganku dengan Cara selalu bermasalah! Kau pembawa sial!" Pria itu sama sekali tidak merasa bersalah. air mata menyengat mataku.
"Aku mencintaimu! Sejak kita SMP! Kau puas?!" Teriakku frustasi dengan air mata berjatuhan tanpa henti. Ekspresi kaget menyelimuti wajah Harry, namun beberapa detik kemudian ekspresinya kembali berubah dingin.
Darah di hidungku belum berhenti mengalir, dan kepalaku mulai pusing. Sialan, aku benar-benar benci menjadi wanita yang lemah. Aku tidak ingin terlihat lemah di hadapan siapapun, terutama Harry walau dengan hidung yang berdarah-darah. Saat Harry tidak mengatakan apapun, aku menarik napas sambil meringis dan berjalan ke kamarku, lalu membanting pintunya tertutup.
Sudah cukup. Aku lelah berpura-pura kuat, aku lelah selalu menyembunyikan perasaanku hanya untuk membuat orang lain bahagia. Ini saatnya aku memikirkan diriku sendiri. Ini saatnya aku memikirkan kebahagiaanku sendiri. Sekarang aku sadar, tidak ada orang lain yang bisa kau percaya selain dirimu sendiri, karena kau tidak akan tahu apa yang sebenarnya orang lain pikirkan, kau tidak bisa percaya pikiran mereka, namun dirimu sendiri, kau selalu tahu apa yang kau sedang pikiran, karena itu dirimu. Sejak kecil aku membiarkan diriku tertindas agar semua orang merasa bahagia, aku hanya anak-anak saat itu, aku ingat mereka melempariku dengan tepung, telur busuk, saus tomat, dan selai kacang, mereka menertawakanku, jadi kupikir aku membuat mereka bahagia, aku tidak tahu saat itu mereka sedang menindasku, dan aku hanya tersenyum polos berpikir aku membuat mereka bahagia. Aku memang membuat mereka bahagia, bahagia dalam penderitaanku. Aku sungguh bodoh. Dan malam sebelum kedua orang tuaku meninggal, seharusnya aku menghentikan mereka untuk pergi ke luar kota. Seharusnya aku bisa mencegahnya, dan apa yang kulakukan? Aku hanya tersenyum dan melambaikan tanganku.
Aku menangis tersedu-sedu. Disaat seperti ini, pilihan untuk bunuh diri memang menggiurkan, tapi aku tidak akan melakukannya. Aku wanita yang kuat. Aku tidak akan menyia-nyiakan hidupku hanya karena masalah kecil seperti ini. Aku tertawa tanpa humor, masalah kecil? Ya, tentu saja.
Kepalaku mulai terasa semakin pusing, dan wajahku terlihat pucat di cermin, dan seketika tubuhku terasa lemah. Aku dengan segera mencari botol obatku. Tidak kuat berdiri, aku merangkak menuju meja di sebelah tempat tidurku dan mengambil obat anemia ku. Penglihatanku mulai buram dan aku terisak mencoba membuka tutup botol obat, setelah berkali-kali gagal, aku mengeluarkan ponselku dari kantung celana dan menelepon Liz 7 kali -tanda darurat yang kami tetapkan saat salah satu dari kami dalam keadaan yang benar-benar darurat yang tidak memungkinkan salah satu dari kami untuk berbicara.
"Mapple? Mapple, buka pintunya, aku minta maaf. Mapple?" Suara Harry terdengar samar.
"Kau brengsek, Harry Styles." Aku berbisik, lalu menutup mataku.
KAMU SEDANG MEMBACA
Stuck | H.S [INA]
FanfictionMapple mencintai sahabat masa kecilnya, Harry, sejak ia duduk di bangku SMP, dan sampai sekarang, ia tidak bisa melupakan perasaannya. Saat Mapple akhirnya bertemu dengan Harry yang sekarang telah terkenal, kenyataan pahit datang dan meruntuhkan ras...