27

3.4K 337 12
                                    

Harry's POV

Aku membuka mataku, dan mengerang saat kepalaku berdenyut sakit. Aku melihat ke sekelilingku. Ruangan ini gelap, hanya lampu di nakas yang menyala. Jelas sekali ini sebuah kamar.

Aku bangun ke posisi duduk, dan sebuah handuk kecil basah jatuh ke pahaku. Kemudian aku tersadar, aku tidak memakai pakaian yang sama saat ke rumah Mapple tadi. Aku bangkit dari tempat tidur dan dengan hati-hati berjalan mencari saklar lampu.

Bisa kutebak, kamar ini cukup besar. Aku berjalan menyusuri tembok, yah karena di luar hujan badai, jadi keadaan gelap sekali. Beberapa menit setelah mencari, aku menemukan saklar lampu tepat di sebelah pintu dan menyalakannya. Lampu menyala terang, tapi tidak benar-benar terang, setidaknya cukup untuk menerangi kamar ini hingga ke sudut ruangan. Aku memandang kamar ini. Jelas ini kamar perempuan. Dengan nuansa putih dan coklat, dan sedikit pink pastel, menampilkan kesan vintage pada kamar ini. Lantai kayunya berwarna coklat muda mengkilap, tepat di depan pintu, sebuah ranjang queen size dilapisi seprai putih dengan bantal-bantal berwarna putuh dan pink pastel, juga selimut berwarna putih dan pink pastel dengan karpet putih gading di bawah ranjang itu, di kaki ranjang terdapat kursi panjang kecil. Ranjang itu menghadap tepat ke pintu kaca yang menampilkan halaman. Di tiap sisi pintu kaca terdapat kursi berlengan dan meja berwarna putih. Di sisi lain kamar ada lemari baju, meja rias, dan juga sofa serta meja kopi.

Kamar ini benar-benar menawan, tapi aku memutuskan untuk keluar dan mencari sang tuan rumah. Ini pasti rumah Mapple. Aku tau begitu keluar dari kamar. Aku tidak pernah bisa berhenti terkagum melihat rumah Mapple yang megah, walaupun memang tidak sebesar rumah One Direction, tapi interior di rumah ini benar-benar memberikan kesan megah pada rumah ini, tangga mwnuju lantai dua berbentuk spiral berwarna coklat. Kamar tadi –yang sudah pasti milik Mapple tepat berada di samping tangga. Aku berjalan ke ruang tamu untuk mencari Mapple.

Mapple memang berada di ruang tamu, duduk di atas karpet sambil memandangi perapian dengan cangkir di tangannya dan selimut memeluk tubuhnya. Ia membiarkan rambut coklatnya terurai membingkai wajahnya. Hal yang tidak biasa kulihat. Biasanya Mapple selalu menata rambutnya dengan rapi, entah itu dikuncir kuda, dikepang, atau digelung menjadi hair bun.

Dengan pelan aku berjalan menghampirinya. Aroma coklat panas memasuki indra penciumanku seketika, membuat perasaanku tenang. Aku berhenti beberapa langkah dari tempatnya duduk. Bahkan dia masih tidak menyadari keberadaanku –yang bisa dibilang cukup dekat di samping kanannya. Karena Mapple tidak menyadari keberadaanku, aku memanfaatka keadaan ini untuk memandangnya.

Rambut coklatnya terurai indah dan terlihat terang karena cahaya api, matanya biru lautnya merefleksikan kobaran api di hadapannya, tubuh rampingnya bersender di kaki sofa, jari-jari lentiknya mengusap cangkir pelan, mencari kehangatan tersendiri dari coklat panas di dalamnya.

"Hey." Aku memutuskan untuk membiarkannya menyadari keberadaanku.

"Harry. Hey. Kau sudah bangun." Ujarnya terlonjak kaget. Aku terkekeh.

"Kau terlalu sibuk melamun. Bahkan kau sampai tidak menyadari keberadaanku." Ucapku sambil tertawa kecil.

"Sudah berapa lama kau berdiri di situ?" Tanyanya memandangku curiga.

"Cukup lama." Ucapku mengangkat bahu.

"Duduklah." Ujar Mapple, kemudian berdiri dan berjalan pergi.

"Kau mau kemana?" Tanyaku padanya. Mapple berhenti berjalan san memandangku lucu.

"Kau tidak mau coklat panas?" Tanyanya sambil tersenyum dan terkekeh.

Aku merasakan wajahku memerah dan berjalan duduk di sebelah tempat Mapple. Mapple yang sudah pasti melihat wajahku memerah tertawa kecil sambil menggelengkan kepalanya. Beberapa detik kemudian Mapple kembali ke ruang tamu dan berjalan menuju meja kopi –yang sudah digeser ke samping perapian dan menuangkan coklat panas dari teko.

Stuck | H.S [INA]Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang