26. Payung Hujan Reina

968 58 17
                                    

Dua hari sudah terlewat semenjak kejadian di halte. Erlang pun telah meminta maaf kepada Reina. Awalnya, Reina sempat tidak mau memaafkannya. Tetapi, rayuan maut Erlang, benar-benar dahsyat effectnya.

Erlang tidak memberitahu kepada Reina, alasan sebenarnya ia mengabaikan telfon itu. Tentu saja karena ia takut Reina marah atau cemburu. Oleh karena itu, ia telah mempersiapkan alasan klasik seorang pria terlebih dahulu. "Hp aku mati, aku tidur." Sangat basi.

Kini mereka sedang makan bersama di kantin sekolah. Pelajaran yang sangat memusingkan, membuat perut keduanya meronta-ronta ingin diberi asupan.

"Laper! Mana makananya...?" Reina merengek sembari memasang wajah cemberutnya.

Erlang terkekeh, "Sabar. Makan terus ih, gendut!" Reina memelotot marah mendengar ucapan Erlang. "Eh, iya-iya sorry dong cantik." Erlang menoel pelan dagu Reina.

Menggelikan. Seperti gaya-gaya tuan Jakarta dan Nonanya, zaman 90-an. Toel-toel dagu.

"Erlang, itu amat sangat bikin pingin muntah!" Reina memutar kedua bola matanya jijik. Erlang terkekeh, lagi.

Keduanya terdiam. Menunggu makanan yang dipesan. Saat makanan sampai, mereka langsung melahapnya dengan semangat.

Reina tidak bersuara sedikitpun, karena terlalu sibuk dengan makanannya. Mengabaikan Erlang yang mencoba untuk mengajaknya bicara.

"Hmmm... enak. Kenyang banget. Pingin langsung pulang terus tidur deh jadinya," Reina memejamkan matanya, sembari memegangi perutnya.

Erlang yang melihatnya hanya tersenyum, "emang dasarnya kebo ya." ucap Erlang.

"Terserah mau bilang apa. Udah mau pulang!" Reina beranjak dari duduknya.

"Pulang apaan? Ini cuma jam istirahat, jangan aneh-aneh deh. Gak ada bolos-bolosan!" Erlang mengomel seperti ibu-ibu pasar yang rumpi.

Reina hanya bisa melengos kesal. Raut wajahnya datar dan tidak bersemangat.

"Udah ayo ke kelas. Jangan males," ucap Erlang dengan lagaknya seorang murid teladan.

Dengan terpaksa, akhirnya Reina mengikuti perintah Erlang. Garis bawahi kata terpaksa.

"Jiahhh pacaran terus! Sampe lupa belajar deh." Setibanya di kelas, Erlang dan Reina mendapatkan cibiran dari Igo.

Erlang mendelik kesal, tidak menghiraukan, langsung menududuki bangkunya.

"Mampus jadi kacang! Bwahahaha!" Ihsan terbahak-bahak melihat wajah merah Igo, beserta hidungnya yang kembang kempis.

"Diem lo semua! Gak penting banget hidup lo, cuma ngurusin orang lain!" Erlang melempar pulpen yang berada digenggamannya, tepat di wajah Igo.

"Bwahahaha! Makan tuh pulpen!" Tawa Ihsan berderai.

Igo melengos, "Apaan sih lo. Gak usah nga--"

"IGO DIEM DEH! Lo tuh ke sekolah mau belajar atau main sih?! Liat tuh di papan tulis, kita disuruh nyalin rangkuman. Mau gak naik lo?!" Michelle sang Ketua kelas membentak. Igo hanya bisa terdiam pasrah, merutuki Ihsan dan Erlang yang malah cekikikan.

"Yang udah selesai, kumpulin ke gue! Gak ada yang boleh berisik, ngerti?" Michelle memerintah seisi kelas, yang hanya bisa mengangguk patuh. "Bagus." ucapnya.

Setelah berkata demikian, Michelle memutar kembali tubuhnya, menghadap papan tulis. Ia menoleh kepada Riska, teman di sebelahnya.

"Nanti sore, jadi ke cafe kan ya?" tanyanya bersemangat.

"Pasti dong, harus itu. Kangen hang out gue," Riska menjawab.

"Katanya jangan berisik ibu ketua?! Apaan tuh, malah ngerumpi!" Igo berseru, sementara Michele hanya bisa memelotot malu. Seisi kelas tertawa. Jatuh sudah harga diri sang Ketua kelas.

MINGGUTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang