27. Benci Erlang? Mustahil ...

789 55 9
                                        


Erlang mengendarai mobilnya dengan kecepatan penuh. Membelah jalanan ibukota di malam hari. Layaknya pembalap profesional, ia menyalip apapun yang ada di depan kendaraanya.

"BODOH!" Erlang mengumpat pada dirinya sendiri.

Ia menyesal, sangat menyesal. Ia membiarkan Reina menunggu seorang diri, di tengah hujan lebat dan dinginnya angin malam.

Kini Erlang telah sampai di tempat tujuannya. Buru-buru ia menuruni mobilnya, berlari menyusuri rumput-rumput hijau yang basah.

Sesekali, ia hampir terpeleset karena terlalu buru-buru. Tapi ia tak peduli, ia tetap berlari. Demi Reina-nya ....

Tubuh Erlang mematung, saat melihat semuanya telah berantakan. Hancur lebur. Dilihatnya meja makan kecil berkain putih, dengan beberapa makanan di atasnya, telah kuyup oleh air hujan. Barisan lilin yang menerangi gelapnya malam, telah padam. Tempat itu sangat berantakan. Semuanya ... hancur.

"Reina ...," lirih Erlang.

Ia menatap nanar semua yang ada di hadapanya. Reina-nya telah menyiapkan semua ini, tetapi ia ... ia justru telah membuat semuanya kacau.

"Dimana dia sekarang?" Erlang berusaha mencari keberadaan Reina.

Ia merogoh saku celananya, mengambil ponselnya.

1 panggilan tak terjawab

Sebaris kalimat itulah yang didapati Erlang, saat ponselnya berada di genggamannya.

Dilihatnya siapa yang menelpon. Ternyata Angga.

Awalnya Erlang ingin menghiraukan missed call dari Angga. Tetapi, rasanya ada sesuatu yang mengharuskan ia untuk menelpon Angga balik. Pada akhirnya, ia menetapkan untuk menelpon Angga.

Nada sambung terdengar dengan jelas. Hingga akhirnya, panggilan
Itu diterima oleh Angga.

"Hm?" Suara Angga terdengar di ujung jalan sana.

"Lo kenapa telpon gue tadi?" Erlang tak mau berbasa-basi, dan langsung menanyai Angga.

"Kenapa ya? Hmm ... kapan-kapan aja lah gue kasih taunya. Nikmatin aja dulu waktu lo sama Syeira, hahaha." Angga terbahak di ujung jalan sana, tanpa mengetahui raut wajah Erlang yang sudah kesal.

"Jangan bilang lo lagi sama--"

"Iya. Reina sama gue, tapi tadi. Tadi pas gue ketemu dia di bukit, tadi pas dia nunggu sendirian di tengah hujan, tadi pas gue bawa dia pulang dengan keadaan pingsan. Tadi!"

Erlang memelotot kaget saat mendengar Reina pingsan. Ia sungguh menyesal.

"Reina, astaga ...," gumam Erlang.

Angga terkekeh di ujung jalan sana, "Astaga lo bilang, setelah udah kejadian. Hmmm ... Erlang, ck, lo itu emang brengsek ya." Setelah berkata demikian, Angga mematikan telepon secara sepihak.

"SIAL!" Umpat Erlang sembari menendang batu kerikil di tanah berumput ini.

***

Erlang mengetuk pelan pintu rumah Reina. Saat pintu terbuka, wajah bi Ijah lah yang didapati Erlang.

"Bi, saya mau ketemu Reina bi. Boleh saya masuk?" ucap Erlang dengan sopan.

Bi Ijah menatap Erlang dari ujung rambut sampai ujung kaki. Tubuh Erlang yang berbalut kemeja abu-abu tua kuyup oleh air hujan.

MINGGUTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang