Angga terduduk lemah di kasur dengan sprei yang tergambar wajah-wajah personil linkin park miliknya.
Linkin park memang sudah Angga idolakan sejak dulu. Sebenarnya, awal-awal ia mengidolakan linkin park karena ia mendengar soundtrack film 'TRANSFORMER' yang dulu sering ditontonnya.
Angga bangkit, dan berjalan ke arah kamar mandi yang berada di dalam kamar. Ia berjalan menuju wastafel, kemudian membasuh wajahnya berkali-kali dengan air.
"ARGH!!" geramnya tertahan. Kedua tangannya mengepal, sementara matanya terus menatap pantulan dirinya pada cermin di hadapanya.
Pikirannya terus saja berkutat akan kajadian beberapa jam yang lalu.
"Mama...," ucap Angga dengan suara yang sangat kecil, bahkan hampir tak terdengar. Tanpa disadarinya, matanya mulai memanas, dan butiran bening itu sukses menetes dari sudut matanya.
"Banci lo, Ngga! Banci. Ngapain lo nangis?!" Angga mengepalkan tangannya lebih kuat. Tanpa maksud yang jelas, ia langsung memukul-mukuli dinding di sebelahnya dengan tangan kirinya. Air matanya yang tadi hanya sedikit, kini membanjiri wajahnya.
"AAARGHHHH!!!" Tubuh Angga meluruh perlahan. Ia terduduk di lantai kamar mandi yang dingin, dengan dinding yang menjadi sandarannya.
Ia memeluk tubuhnya sendiri. Menahan air mata yang sebentar lagi akan keluar, entah tetesan yang ke berapa.
"Mau diapain aku, Ma? Mau diapain? Kenapa mama gak pernah tau penderitaan Angga?"
***
Reina termenung, sembari menyeruput kopi hangat yang baru saja dipesannya. Ia menatap jam tangan di tangan kanannya, yang jarum pendeknya menunjuk angka lima.
Tadi, ia sudah menghampiri rumah Erlang. Namun, sosok yang dicarinya sama sekali tidak ia dapati. Ia bertemu dengan bibi, katanya Erlang lagi ada urusan di luar kota. Nina ditinggal, takut kecapekan katanya.
Setelah itu, Reina menghampiri rumah Erika. Tidak ada orang disana. Rumah kosong. Hingga pada akhirnya, disinilah Reina sekarang. Duduk di sebuah kedai kopi daerah Pondok Indah, sambil menatap gamang jalanan luas yang dapat dilihatnya melewati kaca besar di sebelahnya.
Pikirannya kalut. Bingung harus buat apa. Hingga ia pun tak menyadari bahwa tetesan bening, perlahan mulai membasahi kaca di sebelahnya.
Semakin lama, tetesan itu menjadi semakin banyak. Pada saat itulah, akhirnya Reina tersadar bahwa saat ini sedang hujan.
Reina tersenyum. Gemericik air hujan yang berirama, juga hawa yang menjadi lebih sejuk, sedikit membuat hati Reina lebih tenang. Jalanan yang becek, membuat mata manjadi teduh.
Pikirannya teralihkan untuk sesaat. Bayangan tentang Erlang, kini berubah menjadi orang-orang yang berlalu lalang di bawah payung warna-warni. Berubah menjadi orang-orang yang menepi sembari memeluk tubuhnya sendiri. Dan entah darimana, Reina menangkap sosok pria dan wanita yang sedang menepi di halte bis, berdua. Hal itu mengingatkan Reina pada kejadian beberapa bulan lalu. Ketika Erlang mengajaknya pulang bersama untuk pertama kalinya.
Namun bayangan itu hilang, ketika seseorang menepuk jidat Reina dengan lancang.
"Heh?" Reina menolehkan kepalanya, mencari sosok yang lancang itu.
"Mau marah?" Orang di hadapannya menyeringai jahil. Orang itu tampak berantakan. Baju yang basah, rambut yang berantakan, dan muka yang terlihat tidak segar.
KAMU SEDANG MEMBACA
MINGGU
Teen FictionKetika tinggal aku sendiri yang mengharapkanmu. Di hari MINGGU kita. ●○● Hancur. Hanya itu mungkin saat ini yang bisa dideskripsikan dari seorang Aku. Mungkin aku adalah orang paling menderita di dunia ini. Yaa... menderita. Tapi semua berubah saat...