HENRY PRESSCOT>>>
..............................................................................
Aku menatap dinding rumah sakit dengan pandangan kosong. Aku kehilangan anakku. Aku kehilangannya.
Aku merasakan seseorang menggenggam tanganku dengan kuat dan orang itu juga menangis bersamaku. Aku bisa merasakan tetesan air matanya mengenai tanganku. Tapi, aku tidak peduli dengan orang disekitarku. Aku tidak peduli siapa yang menangis di sampingku. Aku hanya merasakan rasa hampa ketika kehilangan malaikat kecilku.
"Alexa," ujar sebuah suara parau di sampingku mengelus pelan rambutku. "Maafkan aku tidak bisa menjaga kalian berdua. Maafkan aku."
Aku merasakan hatiku teriris ketika Henry membenarkan dugaanku. Saat aku pertama kali membuka mataku di rumah sakit, hal pertama yang kulakukan adalah memegang perutku - memastikan keselamatan anakku. Tapi, aku tidak merasakan gundukan di perutku yang telah menemaniku selama hampir enam bulan ini. Aku tidak merasakan gerakan apapun pada perutku.
Aku terlalu syok dan takut untuk berbicara ketika Henry masuk ke dalam ruangan. Aku hanya menatap dinding rumah sakit dan berdoa dalam hati berharap kalau ini semua hanya mimpi burukku saja. Tapi, perkataan Henry barusan telah membangunkanku dan memaksaku kembali ke realita menyakitkan ini.
Aku merasakan air mataku menetes. Air mata pertama yang kurasakan setelah tiga belas tahun aku tidak pernah menangis. Air mata yang mengalir karena kesedihan dan kemarahanku. Air mata karena telah kehilangan malaikat kecilku. Anak yang pada awalnya tidak kuinginkan. Apakah ini hukuman dari Tuhan karena aku berusaha mengaborsinya ketika pertama kali aku mengetahui terdapat sesuatu yang hidup di perutku? Apakah ini hukuman dari Tuhan karena aku telah membunuh ayahku sendiri?
Jika ini hukuman, mengapa Tuhan tidak membunuhku saja? Mengapa harus anakku yang menanggung dosaku? Akulah yang telah membuat banyak dosa dan pantas untuk mati. Mengapa Dexter tidak membunuhku juga? Setidaknya, aku bisa bersatu dengan malaikatku. Mengapa? Mengapa?
Mengapa dunia sangat membenciku?
Mengapa aku tidak diijinkan untuk mendapatkan kebahagiaanku sendiri? Saat kebahagiaan itu sudah hampir berada di genggamanku - dunia merebutnya dengan paksa dariku dan melemparkanku kepada kesengsaraan.
"Henry... Noah ingin menemuimu untuk membahas keselamatan Alexa," ujar sebuah suara lainnya.
"Kau bisa mengurusnya untukku, Liam!" sentak Henry dengan marah. "Lagipula, kau lebih mengerti tentang hal keamanan seperti itu dibandingkan diriku."
"Kau adalah keluarga terdekat Alexa yang ada pada saat ini... Kurasa mereka tidak mempercayaiku untuk membicarakan keamanan rahasia itu," balas Liam dengan tenang.
"Aku tidak akan meninggalkan sisi Alexa lagi!" bentak Henry. "Aku tidak ingin pria gila itu merenggut tunanganku."
Liam menghela nafas panjang. "Kurasa Mr Mann tidak berniat untuk membunuh Alexa sama sekali. Walaupun aku datang sepuluh menit setelah Alexa meneleponku - pria itu masih memiliki kesempatan untuk membunuhnya tapi dia tidak melakukannya. Lagipula kurasa dia bukan tipe pria yang takut untuk tertangkap ketika mangsanya sudah berada di depan matanya."
"Membuatnya semakin berbahaya..." bisik Henry pelan.
"Pergilah, Henry!" ujar Liam. "Aku akan menemani Alexa selama kau tidak disini. Mr Mann tidak akan dapat menyentuhnya sebelum dia membunuhku."
Aku tidak tahu apa yang terjadi tapi beberapa menit kemudian aku mendengar suara pintu terbuka dan tertutup. Aku merasakan seseorang duduk di sampingku. "Aku juga kehilangan lima anak buahku, Alexa. Tapi, aku berusaha untuk kuat dan kuharap kau juga melakukan hal yang sama."
KAMU SEDANG MEMBACA
Beauty of Protection
RomanceHenry adalah api, dan Alexa adalah es. Dua orang yang berbeda dipertemukan oleh sebuah takdir. Bagaimana jika dari awal mereka memang tidak boleh bersatu, tapi mereka memaksakan takdir atas nama cinta. Dapatlkah perlindungan yang ditawarkan oleh Hen...