CHAPTER 8

13K 690 19
                                        

"Fraulein Brianna," bisik suara seseorang di telingaku. Aku membuka mataku, menemukan Ari berdiri di samping ranjangku. Tidak beberapa lama kemudian orang kedua muncul dari belakang punggung Ari– Dexter Mann, kakak laki – lakiku tersenyum licik kepadaku.

"Guten morgen, little sister," sapanya dalam bahasa Jerman. (guten morgen = selamat pagi)

Tubuhku segera meneriakan tanda bahaya kepadaku. Buka mulutmu, Brianna! Buka mulutmu! Tapi, seperti direkatkan mulutku tidak bisa terbuka untuk membalas sapaan Dexter. Otakku terasa membeku karena ketakutan yang disuntikan di seluruh tubuhku.

Suatu rasa sakit segera menyerang wajahku. Aku tahu Dexter telah menamparku. "Ich noch einmal sagen. Guten morgen, little sister," ucapnya tersenyum dengan culas. Mata hitamnya berbinar dengan gembira. (Ich noch einmal sagen = aku tanya kau sekali lagi)

"Guten morgen, big brother," sapaku. Dexter menyuruhku memanggilnya dengan sebutan 'big brother' karena dia tahu betapa aku membenci dia menjadi kakak laki – lakiku.

Dexter menganggukan kepalanya tampak puas dengan jawabanku. "Bersiap – siaplah. Lima belas menit lagi kau harus sudah siap. Ari akan menunggumu di depan pintu," ujarnya lalu meninggalkanku sendiri dengan wajah kesakitan.

Setelah Dexter keluar dari kamarku, Ari menatapku dengan wajah kasihan – tidak bisa berkata apapun, lalu memilih keluar dari kamarku.

Sepuluh menit kemudian, aku keluar dari kamarku dan menemukan Ari berdiri tepat disebelah ruanganku. Ari mengantarku melewati berbagai lorong. Jantungku berdetak dengan kencang memikirkan apa lagi kesalahan yang kuperbuat hingga Dexter memanggilku.

Tubuhku sedikit merileks ketika aku berhenti di depan pintu yang sudah sangat kukenali – ruang monitor, tempat segala kejadiaan di tempat ini telah di rekam. Mungkin, Dexter akan memaksaku untuk melihat segala penyiksaan yang dilakukannya kepada orang – orang malang tersebut. Bukannya aku bahagia, tapi hal ini lebih baik dibandingkan jika aku sendiri yang dihukum.

Ari membukakan pintu dan tubuhku mematung ketika menemukan seseorang yang duduk di samping Dexter. Orang yang paling kubenci di dunia ini selain Dexter Mann. Elliot Mann tersenyum ketika menyadari aku telah datang. Dengan tangannya, Ia memanggil diriku untuk duduk di sebelahnya. Perlahan aku datanga kepadanya dan duduk di kursi terjauh darinya.

Mata hitam liciknya menatapku dengan tatapan menilai. Tangannya memegang pundakku lalu meremasnya membuatku menjerit kesakitan. "Apakah aku sebegitu menakutkannya Brianna hingga kau tidak mau duduk di sebelah Daddy mu sendiri?" Aku buru – buru menggelengkan kepalaku. "Lalu, kau akan bersikap seperti anak baik dan duduk di sampingku, bukan?" Aku buru – buru berdiri dan duduk tepat di sampingnya.

"Guten morgen, Daddy," cicitku pelan.

"Guten morgen, Prinzessin," ujarnya dengan gembira. "Wie geht es dir heute?" (Guten morgen, Prinzessin = selama pagi, princess) (Wie geht es dir heute = bagaimana kabarmu?)

"Es geht mir gut." (Es geht mir gut = aku baik – baik saja)

"Pasti, kau bertanya – tanya mengapa aku membangunkanmu sepagi ini?" tanya Dad dengan senyuman palsunya.

"Ada apa, Daddy?" tanyaku dengan terpaksa walaupun aku sama sekali tidak ingin tahu apa keinginannya.

Dad tidak berkata apapun hanya menyalakan sebuah tombol yang membuat sepuluh layar di depanku menampilkan gambar yang sama. Sebuah ruangan gelap dan hanya terdapat sebuah jendela kecil di bagian atas. Tidak ada kasur, toilet maupun tempat cuci – ruangan itu sangat buruk dan lebih buruk dari ruangan yang lainnya. Dad selalu menempatkan toilet dan kasur di setiap ruangan korbannya.

Beauty of ProtectionTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang