Seberkas sinar yang hangat menerpa tubuh seorang gadis berhati dingin yang masih terlelap tidur. Nafasnya tampak beraturan dan selimut sudah tidak membaluti tubuhnya, sejumput rambut coklat yang tergerai sedikit menutupi wajahnya yang jarang sekali menunjukkan ekspresi terkecuali ekspresi yang datar dan menimbulkan kesan membosankan untuk menggambarkan sifat dirinya.
Yukina, gadis remaja yang dingin dan hanya sedikit memiliki teman. Yah, tidak heran kalau dia hanya memiliki sedikit teman dan dapat di hitung dengan jari, itu karena sifatnya yang sulit untuk membaur dengan yang lainnya. Tapi dia bersyukur memiliki dua orang sahabat yang selalu mengerti dirinya, mereka menerima Yukina dengan apa adanya, mereka tidak mempedulikan sifat Yukina yang kelewat cuek dan dingin. Yukina sangat bersyukur memiliki sahabat yang seperti itu di saat dirinya merasa tertekan dengan perjalanan hidupnya, Yukina kehilangan seorang Ayah tercinta di saat dia masih kecil. Ibunya bilang kalau Ayahnya meninggal karena sebuah kecelakaan hingga merenggut nyawa.
Pintu kamarnya terbuka perlahan dengan seorang wanita paruh baya. Wanita itu duduk di pinggir kasur putri kesayangannya, untuk beberapa saat dia menatap wajah tenang Yukina sambil tersenyum.
"Sayang, bangun nak. Waktunya untuk berangkat ke sekolah," Asagi mengguncangkan bahu Yukina perlahan.
Mata Yukina sedikit mengerjab, lalu menguap lebar seakan tidak ada seorang pun yang melihatnya. Asagi menggelengkan kepala, mau bagaimana pun Yukina harus merubah kebiasaan buruk itu. Sebelum mata Yukina terbuka dengan lebar, Asagi membuka gorden putih kamar hingga cahaya matahari dengan bebas masuk ke dalam kamar.
"Yukina, bangun." Asagi menggerakkan kaki putrinya yang hanya di balas dengan rengekan pelan.
Yukina mengambil bantalnya yang dia pakai untuk menutupi wajahnya dari sinar matahari. Ya, dia merasa sangat malas untuk bergerak dari atas kasur dan berangkat ke tempat membosankan itu, sekolah. Rasanya sesekali dia ingin bolos saja.
"Bangun, kamu harus sekolah," Asagi bertolak pinggang sambil menggelengkan kepala.
Yukina diam.
"Sekolah atau semua koleksi foto idol-mu Ibu buang?" ancamnya.
Yukina mendecak, lalu dengan terpaksa bangun dan berjalan menuju kamar mandi. Asagi menggelengkan kepalanya, ancaman itu adalah senjata paling handal untuk membuat Yukina menuruti apa yang di bilang apalagi dalam hal bersekolah.
Setelah mendengar suara air yang bergemericik dari dalam kamar mandi, wanita itu turun ke bawah untuk membuatkan Yukina sarapan. Baginya, sarapan di pagi hari sebelum melakukan sebuah aktifitas itu adalah hal yang wajib di lakukan.
***
Setelah beberapa menit berlalu, Yukina turun melewati anak tangga, sudah lengkap dengan seragam sekolahnya. Rambutnya ia biarkan tergerai dengan satu jepitan berwarna ungu di sisi kepala kirinya. Di lihatnya sepiring nasi goreng di atas meja, seketika perutnya menjadi lapar setelah melihat makanan kesukaannya. Dengan semangat, Yukina duduk di bangku dan mulai menyantap sarapannya.
Asagi yang baru selesai mencuci piring langsung di kejutkan dengan nasi goreng yang tersisa sedikit karena Yukina memakannya dengan cepat seakan tidak bernafas sama sekali.
"Enak?" Asagi bertanya setelah menempatkan dirinya di samping meja.
Yukina hanya mengangguk, lalu mendorong mangkuk itu menjauh karena sudah tidak tersisa sebutir nasi pun di piringnya. Setelah menegak segelas air, dia bangkit dan pamit pada ibu nya untuk berangkat ke sekolah.
Yukina memainkan ponselnya sambil berjalan menuju sekolahnya, sekolahnya itu tidak terlalu jauh dari rumahnya, cukup menghabiskan waktu 10-15 menit sudah cukup untuknya. Namun, ketika dia sedang tidak berniat untuk berjalan kaki, dia akan naik bus untuk menuju ke sekolahnya.
KAMU SEDANG MEMBACA
Bound Up With Vampire
Vampire[SEDANG DI REVISI] Dari judul awal, My Love is a Vampire. Gadis dingin yang seketika kehidupannya berubah setelah bertemu dengan seorang lelaki misterius yang sebenarnya adalah teman barunya di sekolah. Percaya dengan adanya Vampire? Pastinya tidak...