Chapter 43

3.6K 233 12
                                    

Dengan penuh kewaspadaan, Zen memimpin jalan untuk mencari jalan yang aman agar mereka dapat keluar dari kastil. Sesekali, Zen dan Zennisa harus bersembunyi dari para prajurit yang tengah berkeliling kastil untuk menjaga keamanan. Tidak jarang pula, Zen harus menimang-nimang bayi Zennisa yang berada di gendongannya saat bayi mungil itu tampak akan menangis.

Untuk dapat keluar dari kastil itu, benar-benar membuat tenaganya terkuras. Kastilnya sangat besar dan luas, di tambah dengan prajurit-prajurit yang jumlahnya tidak terhitung. Bahkan, Zennisa sudah meminta Zen untuk istirahat sebentar karena ia sudah tidak kuat untuk melanjutkan rencana pelariannya. Sedangkan, Zen hanya bisa mengiyakan dan menuruti permintaan Kakaknya.

Zen memindahkan bayi yang di gendongnya ke gendongan Ibunya. Lalu, Vampire laki-laki itu meraih pedang yang sebelumnya ia sampirkan ke rantai yang sengaja ia lilitkan ke pinggangnya. Zen mengawasi sekitar sambil sesekali menelan ludahnya sendiri.

Tenggorokannya terasa kering dan ia merasa sangat haus. Kepalanya terasa pening dan pandangannya mulai kabur. Ia merasa ada gejolak yang menghantam-hantam di dalam dadanya. Entah sudah berapa hari berlalu sejak ia terakhir meminum darah. Perlu di ketahui, kalau waktu yang berada di dunia yang sebenarnya sangatlah berbeda dengan waktu yang berada di dunia gelap itu. Jika di dunia gelap itu sudah melewati beberapa menit, maka di dunia yang sebenarnya sudah melewati beberapa hari. Intinya, perputaran waktu di dunia gelap itu sangatlah berbeda dari yang sebenarnya.

Zen memejamkan matanya sambil menggeram pelan,“Tolong, jangan sekarang.” lirihnya.

Satu tangan Zen bergerak untuk mencengkram kepalanya yang terasa pusing. Keringat dingin yang dinginnya sedingin suhu tubuhnya mulai membasahi dan menyelimuti tubuhnya.

“Zen, ada apa?” Zennisa yang melihat keanehan dari Zen, mulai bertanya.

Saat suara Zennisa menggema di dalam kepalanya, Zen mulai sadar dan membuka matanya kembali. Vampire laki-laki itu membalikan tubuhnya menghadap ke Zennisa, lalu menggeleng.

“Tidak ada. Aku hanya merasa sedikit lelah,” alibinya. Padahal, keadaannya sekarang sudah berada di ujung tanduk. Jika, ia tidak segera minum darah–maka sosok Vampire yang sebenarnya akan menguasai tubuhnya. Jika itu sudah terjadi, tidak peduli sepenting ataupun se-spesial baginya, semua yang berada di depannya di pandang sama. Mangsa tetaplah mangsa.

“Kalau begitu, istirahat saja dulu.” tawar Zennisa.

“Tidak-tidak.” secara spontan Zen menggelengkan kepalanya.

“Memangnya kenapa?”

Zen tidak menjawab, tapi Zennisa menajamkan pandangannya di mata Zen. Dari situ lah, Zennisa mulai mengerti.

“Kau haus?” tanya Zennisa.

“Yaa... Begitulah, tapi ini tidak masalah. Aku masih bisa menahannya.”

“Sungguh?”

“Ya, tenang saja, Kak.”

Tapi, saat sederet kalimat itu selesai di ucapkan. Zen mencium bau darah yang tidak asing lagi baginya. Setiap detik berlalu, bau darah yang di ciumnya terasa makin menyengat dan makin dekat. Zen mengendus-endus udara yang berada di sekelilingnya dan pandangannya mulai tertangkap pada satu titik. Yaitu, pada pintu utama kastil yang jaraknya cukup jauh dan di jaga oleh beberapa prajurit.

Jika, Zen dengan cepat membunuh prajurit itu dan dapat keluar dari kastil itu–maka rencananya berhasil dan dapat kembali ke dunia Yukina berada. Tapi, ada satu kendala. Ia tidak bisa membunuh prajurit itu, karena semua makhluk hidup yang tinggal di kastil itu adalah keluarganya. Mau bagaimana pun, ini tetaplah kastilnya. Tempat tinggal seharusnya. Dan, tempat ia di lahirkan dan membuka matanya untuk pertama kali. Memang benar, kalau Zen sudah beberapa kali membunuh para prajurit dan dia menyesalinya sekarang. Mau bagaimana pun, alasannya cuma satu yaitu terpaksa.

Bound Up With VampireTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang