Senja pun tiba, langit menunjukan warna orange keemasan yang begitu indah membuat orang-orang yang melihatnya jadi merasa tenang di temani dengan desiran angin sore yang segar. Tapi hal itu sama sekali tak dirasakan oleh Yukina. Dengan senja yang sebagai tanda malam akan datang, justru membuatnya merasa cemas. Dan dengan adanya angin semilir yang menerpa tubuhnya, dia justru merasa keringat dingin membasahi sekujur tubuhnya.
Bagaimana tidak?
Saat ini dia tengah duduk di atas rumput hijau di sebuah taman yang Yukina sendiri tidak tahu daerah tersebut, tempat yang asing untuknya. Apalagi di temani dengan seorang lelaki yang tak jelas asal usulnya. Ya, lelaki itu duduk tepat di sebelahnya. Hanya diam tak bersuara sambil menatap langit.
Yukina memeluk kedua kakinya yang terlipat di depan dada, berusaha mengurangi rasa cemas dan menahan diri untuk tidak melarikan diri jika dia masih ingin menghirup udara. Matanya melirik sedikit pada Zen. Lelaki itu masih tak melakukan apapun. Andaikan dia bisa membaca pikiran oranglain, Yukina jadi bisa mengetahui apa yang sedang di pikirkan oleh Zen selama satu jam lebih berdiam diri seperti itu. Apa memang ingin membunuh target yang persis sudah di sampingnya itu harus berpikir selama berjam-jam?
"Aku belum ingin membunuhmu. Jangan khawatir," tiba-tiba Zen bersuara menjawab hal yang Yukina pikirkan.
Karena sedikit terkejut, Yukina menggeser dirinya sedikit lebih jauh dari Zen. Lelaki di sampingnya ini memang berencana ingin membunuhnya, sudah tertebak dari perkataan Zen.
"Apa yang kita lakukan disini?" tanya Yukina pelan.
"Tidak tahu," jawabnya enteng.
Yukina segera menolehkan kepalanya. Apa-apaan dia? Sudah membawanya ke tempat yang tidak dia kenali, tapi tak tahu tujuannya mereka ke tempat itu? Ingin sekali Yukina marah dan berteriak tepat di telinganya yang bebal itu, tapi tentu saja dia harus menahan diri untuk melakukannya.
"Aku ingin pulang,"
"Pulang saja," Zen manyahut tanpa melihat ke arahnya sama sekali.
"Aku tidak tahu daerah mana ini, bagaimana aku bisa pulang?"
"Kau bisa tanya orang-orang sekitar sini. Punya mulut, kan?" ucapnya sarkastik.
Dengan geraman kecil, Yukina menahan amarahnya. Cukup lama mereka tak ada yang bersuara, sampai akhirnya Yukina kembali bertanya.
"Kenapa kau senang sekali membunuh?"
Zen menoleh,"Senang? Baru dua puluh tiga orang yang aku bunuh. Itu tak cukup membuatku senang."
Yukina melotot seketika, tak ingin merespon apapun untuk jawaban Zen yang satu ini. Lelaki itu terkekeh kecil, lalu kembali melihat langit,"Aku membunuh oranglain bukan tanpa alasan. Aku hanya membunuh orang-orang yang memiliki hati yang jahat,"
"Tapi kau tidak harus sampai membunuhnya,"
Seekor kupu-kupu bersayap putih polos terbang berputar-putar tepat di depan wajah Zen, membuat lelaki itu tersenyum tipis. Satu hal yang tidak Yukina sangka sebelumnya.
Jari telunjuk Zen terangkat dan kupu-kupu itu langsung mendaratkan kaki-kaki kecilnya pada telunjuk lelaki itu,"Hai, teman kecil." ucap Zen lembut.
Mata Yukina terus memperhatikan lelaki di sampingnya tanpa berkedip sama sekali, masih tak percaya dengan perlakuan Zen pada makhluk kecil itu.
"Sayapmu indah," puji Zen walaupun Yukina tahu kalau sebenarnya tak ada keistimewaan pada sayap berwarna polos seperti kupu-kupu itu, tapi Zen justru memuji sayapnya. Akhirnya kupu-kupu itu terbang dan mendarat di ujung hidung mancung Zen sebelum akhirnya terbang meninggalkan mereka seakan makhluk kecil itu menyampaikan salam selamat tinggal.
KAMU SEDANG MEMBACA
Bound Up With Vampire
Vampire[SEDANG DI REVISI] Dari judul awal, My Love is a Vampire. Gadis dingin yang seketika kehidupannya berubah setelah bertemu dengan seorang lelaki misterius yang sebenarnya adalah teman barunya di sekolah. Percaya dengan adanya Vampire? Pastinya tidak...