Chapter 41

3.9K 267 20
                                    

Zen membantu Zennisa untuk dapat berdiri. Untuk sepersekian detik, Kakak perempuannya itu meringis menahan sakit karena kakinya yang terluka seperti bekas sabetan cambuk.

Zen merangkul bahu wanita yang lebih rendah darinya sambil menuntun wanita itu keluar dari tempat terkutuk itu. Lalu, matanya memperhatikan bayi yang berada di gendongan Zennisa, bayi itu sedang tertidur pulas. Bibir bayi itu terlihat mungil dengan pipinya yang tembam merona menambah kesan menggemaskan. Tanpa disadari, bibir Zen membentuk sebuah senyuman.

“Ehm..., Biarkan aku yang menggendongnya agar Kakak dapat bergerak dengan leluasa,” alibinya, padahal sebenarnya tangan Zen yang sudah gatal ingin menggendong bayi mungil itu.

Zennisa menggeleng,“Tak apa, Kakak tetap bisa bergerak dengan leluasa, kok,”

“Tak apa, Kak. Aku akan menggendongnya. Pasti Kakak terasa berat menggendongnya,” timpal Zen.

Zennisa mengernyit,“Tidak berat, kok. Dia kan masih bayi,”

“Tapi, Kak.... Aku ingin...,” Zen membuang mukanya ke segala arah. Dia terlalu malu meminta pada Zennisa secara langsung kalau ia ingin menggendongnya.

Zennisa tersenyum,“Kau apa ?” tanyanya.

“Aku hanya ingin.... Menggendongnya,” jawab Zen pelan.

Zennisa mengacak rambut Zen dengan gemas mengunakan satu tangannya,“Kamu tidak pernah berubah, yaa.”

Zen merasa sangat nyaman jika berada di dekat Kakaknya. Di perlakukan seperti membuatnya makin merasa rindu dengan ibunya. Dia baru merasakan betapa nyamannya sebagai adik di perlakukan baik oleh seorang Kakaknya. Tanpa di sadari, Zen tersenyum dengan matanya yang terpaku pada Zennisa.

Tapi, dengan cepat ia menundukan kepalanya saat Zennisa membalas tatapannya. Entah mengapa, rasanya ia sangat gugup dengan Zennisa. Mungkin, karena ini baru pertama kalinya ia bertemu dengan Kakak tertuanya itu. Di dalam benaknya, Zen masih bertanya-tanya, kenapa ia tidak dapat mengingat tentang Zennisa. Padahal, Zennisa adalah kakaknya sendiri. Zennisa juga mengakui, kalau dirinya selalu bersama Zen setiap waktu–sebelum Leo merenggut nyawa orang tuanya.

Raut wajah Zennisa berubah saat mendapati wajah Zen yang terlihat muram, ia tahu apa yang sedang dipikirkan oleh adik paling kecilnya,“Hei, jangan pikirkan tentang hal itu. Ini semua sudah terjadi dan kita tidak dapat memutar waktu untuk kembali ke masa sebelumnya,” ujarnya lembut.

Zen mengangkat kepalanya sebelum mengangguk pelan. Lalu, matanya jatuh pada bayi yang berada di gendongan Zennisa, seakan mengerti apa maksud dari tatapan Zen–Zennisa memindahkan bayinya ke gendongan Zen dengan perlahan.

Bayi itu sedikit membuka matanya, tapi dengan cepat–Zen mengusap pangkal hidung bayi itu lembut sambil bergumam pelan menyuruh bayi itu untuk kembali memejamkan matanya dan tertidur. Seolah mengerti apa yang di katakan oleh Zen, bayi itu kembali memejamkan matanya.

“Kau sudah mempunyai seorang Mate, Zen ?” tanya Zennisa.

“Sudah,” jawab Zen tanpa mengalihkan pandangannya dari bayi mungil yang berada d gendongannya.

“Siapa namanya ?”

“Yukina,” nafasnya tercekat setelah menyebut nama gadis itu. Kekhawatiran langsung menyeruak ke dalam hatinya.

Di dalam benaknya langsung muncul banyak sekali pertanyaan mengenai gadis itu.

Apakah dia baik-baik saja ?

Dimana dia sekarang ?

Bagaimana keadaannya ?

Apakah kalung yang di beri oleh Sherla sudah terlepas ?

Bound Up With VampireTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang