#17 - Lebih Dekat

4.6K 369 0
                                    

Tahun 2016.

"Thanks." Ucap Kiran datar. Kali ini dia menatap dalam Karan.

Karan mengernyitkan dahinya, "buat?"

Lah, gimana sih.

"Thanks karena udah maafin gue." Ujar Kiran lagi kali ini membuat Karan manggut-manggut.

Jujur, sebenarnya Kiran ingin tanya banyak hal soal Karan. Tapi apa daya, Kiran kan bukan siapa-siapanya Karan yang berhak kepo. Huh! Coba saja cowok didepannya itu sadar akan Kiran, pasti suasana tidak akan secanggung ini.

"Mela.."

"Mela.. Woy!"

Ish, apasih Karan.

Kiran menatap Karan tajam, tatapan matanya mengatakan 'ada apa?'.

"Kamu kenapa bisa tau rumah saya?"

Jlep.

"Gue waktu itu belajar kelompok di rumah Gin." Jelas Kiran akhirnya.

"Gin?" Tanya Karan, memang betul-betul Gin dan Karan belum pernah bertemu maupun kenalan. Kiran menghela nafas, mau bagaimana lagi. Dia harus menjelaskan dengan sedikit detail.

"Gin itu temen sekelas gue. Pas kita lagi belajar kelompok, tante Windri dateng, terus yaudah, gue diajak ke rumah lo. Dan..."

"Kamu kenal mama saya?" Karan mengernyit tanya.

Jlep.

Aduh Kiran, bodoh banget sih lo sampe bisa keceplosan. Kiran memandang kesemua benda yang bisa ia pandangi untuk lari dari tatapan menyelidik Karan. Sampai akhirnya kepala Kiran dipegangi oleh tangan cowok itu, matanya jadi menatap lurus ke mata Karan. DEG.

Kiran menelan ludah. "Enggak." Jawab Kiran mantap.

"Bohong?"

"Eh,-" Kiran mencoba menunduk, memejamkan matanya dan berteriak bodoh ratusan kali pada dirinya sendiri. Kepalanya kembali ditegakkan oleh Karan dan kembali menatap lurus ke mata cowok itu. DEG.

"Mela, jawab jujur."

Hening. Tidak ada jawaban dari Kiran.

"Mela, saya bicara sama kamu."

Hening lagi. Kebiasaan yang Kiran yakin akan berhasil.

"MELA." Bentak Karan.

Kiran menatap Karan, tatapannya datar tanpa ekspresi, Kiran sama sekali tidak takut pada Karan. Situasinya tetap sama. Hening.

Tidak lama Karan melepaskan tangannya dari kepala Kiran. Cowok itu nampak menghela nafas panjang. Berhasil. Kiran bersorak gembira dalam hatinya karena Karan tidak melanjutkan bahasannya seperti apa yang ia duga. Kiran bahkan lebih tau orang macam apa Karan, dia sudah kepalang hafal dengan sikap Karan yang tidak enakan pada orang lain. Kenangannya dulu memang tidak akan pernah ia lupakan, luar dan dalam Karan, Kiran paham. Mungkin lebih paham dari pada Karan sendiri.

Demi, awkward banget.

Kiran hampir frustasi saat keadaan benar-benar hening. Kebosanan melandanya, sifat cueknya sudah tidak bisa ditahan lagi. Mau bagaimana, Kiran sendiri ingin terus nyerocos jika sedang bersama Karan. Hanya saja Karan-nya sekarang beda, jadi tidak seru lagi.

"Kenapa?" Tanya Karan.

"Apanya?" Tanya balik Kiran.

"Udahlah."

Apasih Karan gak jelas banget ya.

Kiran menopang dagu, dia ingin pulang tapi hujannya masih deras. Tiba-tiba saja matanya memandangi sesuatu diatas meja mini tidak jauh dari tempatnya duduk. Sebatang rokok yang sedikit mengganggu fikirannya.

"Karan." Panggil Kiran masih memandangi rokok itu.

"Apa?"

"Lo sekarang ngerokok?"

"Sekarang?" Tanya Karan menyelidik.

Duh, salah ngomong lagi kan.

"Maksut gue, lo ngerokok?" Kiran membenarkan bahasanya, kali ini sambil menatap Karan.

"Apa urusan kamu." Katanya.

Ish, emang nyebelin ya. Bodo ah, lagian tu rokok gak bakalan di isep ama dia.

Tok. Tok. Tok.
Karan bangkit saat mendengar pintunya diketuk, seseorang datang dan sepertinya memberi sesuatu kepada Karan. Tak lama dia duduk lagi didepan Kiran. Bungkus hitam itu ia buka, rupanya didalamnya terdapat martabak, tunggu! Itu martabak kacang. Saat Karan ingin mengambil potongan martabak itu, tangannya segera ditepis oleh Kiran dengan tatapan jangan.

"Apa. Kamu mau? Ambil." Ujar Karan, martabak itu ingin segera ia masukkan ke dalam mulutnya.

"Jangan dimakan." Ujar Kiran berhasil membuat martabak itu gagal dimakan Karan. Cowok itu berdesis, lalu ingin melahap martabak itu lagi.

"Lo kan.." Belum sempat Kiran berkomentar, Karan langsung melahap martabaknya dengan cepat.

Kiran tidak bergeming, dia tidak ikut melahab martabaknya, dia hanya memantau reaksi apa yang akan terjadi pada Karan. Dia tebak sebentar lagi cowok itu gatal-gatal. Dan benar saja, tidak butuh waktu lama Karan garuk-garuk tangan dan wajahnya yang sekarang menjadi merah.

"Tuhkan, gue bilang juga apa." Desis Kiran bangkit melongok kesegala arah, "Ada lap gak? Punya air hangat juga gak lo?"

"Ada, di belakang." Katanya masih sibuk garuk-garuk wajah yang sekarang sudah bentol-bentol.

"Awas." Kiran menaruh ember kecil berisi air hangat di lantai. Tangannya mencoba menyingkirkan tangan Karan yang sibuk garuk-garuk.

Karan tidak mencoba mengelak, dia hanya pasrah karena memang cara itu yang berhasil membuat bentolannya mengempis.

"Mela." Panggil Karan menahan rasa gatalnya.

"Hmm." Kiran hanya berdehem, tangannya sibuk menempelkan kain lap yang sudah dicelupkan ke air hangat di ember tadi.

"Tadi yang saya makan apa sih. Kok saya jadi gatal-gatal ya."

"Martabak kacang." Jawab Kiran. Lapnya diperas dan dicelupkan lagi kedalam ember lalu ditempelkan lagi ke muka Karan yang mengernyit.

"Pantesan. Gue kan.."

"Alergi." Sambung Kiran membuat alis Karan terangkat.

"Kok?"

Kiran melotot, Kiran.. Mulut lo bisa ditambal aja gak sih. Keceplosan mulu.. duh gimana dong?

"Mela.. Mulut kan." Omel Karan saat tangan Kiran salah menempelkan lapnya ke bibir merah Karan. Kiran jadi gagu mendadak, efek melamun.

"Sorry." Ujarnya sambil nyengir. Menyingkirkan lapnya dari wajah Karan lalu memeras lap itu. Tidak lama Karan juga ikut menyungging senyuman. Lesung pipinya terlihat, membuat Kiran jadi terus nyengir.

"Mela." Panggil Karan lagi entah sudah keberapa kalinya.

"Hmm."

"Mau jadi teman saya."

"Hah! Uhuk-uhuk."

"Eh, minum." Karan menyodorkan segelas air didekatnya pada Kiran yang langsung diteguk paksa oleh cewek itu.

Karan terkekeh, lesung pipitnya makin cekung, membuat jantung Kiran jadi berdegup kencang.

Gue pingin pulang, mama.. Karan Ma.. Ayah Traf, anaknya nih.. Hadoh..

***

Hai, KARAN [COMPLETE]Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang