#33 - Jujur

4.8K 355 13
                                    

Happy Reading Geng.
Well, part ini agak gimana gitu. Jadi, baca aja deh ya 👇👇👇

Tahun 2016.

Kiran tidak berkutik sedikitpun saat bibirnya disentuh oleh benda lembut yang sama dengan miliknya, bibir Karan seakan menyentuhnya dengan hangat, membawanya kealam bawah sadar saat mata Kiran mulai tertutup rapat. Dia merasakan detakan jantungnya tidak normal sama sekali, dia ingin menghentikan aksi Karan tapi gagal karena tangannya ikut bergetar dan meremas jaketnya sendiri. Saat kemudian Karan melepaskan bibirnya, dan membuat ruang kosong dalam detakan jantungnya yang masih terpacu hebat.

"Apa yang lo.." Belum sempat Kiran mengomel, Karan sudah menyentuh lagi bibir Kiran dengan bibirnya, dan itu hanya sedetik. Jantung Kiran sudah tidak kuat lagi, membuatnya memilih untuk diam dan menunggu Karan menjelaskan.

"Saya senang." Lagi-lagi itu yang Karan ucapkan padanya. Kiran saat ini sama sekali tidak bisa berkedip karena gugup. "Saya senang kamu dan orang itu tidak bersama." Katanya membuat Kiran jadi mengerti kemana arah pembicaraan Karan.

"Boleh saya jujur." Ucapan Karan benar-benar membuat hati Kiran jatuh mendadak ke permukaan. Mendarat paksa dan itu serasa seperti debaran yang hebat.

Kiran mengangguk, dia benar-benar tidak tau lagi harus berkata apa.

"Saya suka kamu." Katanya sembari memegangi tangan Kiran yang sedikit gemetar. Bungkusan hitam tadi entah ditaruh dimana.

Deg. Deg. Deg.

Ya Tuhan, berilah hambamu ini kekuatan untuk menghadapi cowok didepan hamba ini. Hamba tidak kuat Ya Tuhan.

Kiran tetap diam. Dia kaku, dia gugup, dia ingin pingsan sekarang juga.

"Saya rindu sama kamu, Kiran."

Hati Kiran seakan berhenti berdegup, matanya disipitkan dan tangannya minta dilepas oleh Karan. Saat itu, jantungnya juga ikutan berhenti membumbuhi hal bernuansa romantis yang gagal diciptakan karena dirinya akhirnya malah menunduk dengan buliran air mata.

Bagaimana lo bisa tau nama gue Kiran, padahal gue belum jujur ke elo.

"Kiran, saya tau kamu Kiran saya."

Kiran diam.

"Kiran, kenapa kamu tidak jujur ke saya kalau kamu adalah Kiran saya yang dulu. Kamu Kiran yang sejak dulu saya sukai." Ucapan Karan kali ini benar-benar membuat buliran air mata Kiran jatuh bertubi-tubi. Kiran sampai meringkuk dibangku taman karena menangis terseduh-seduh. Bahkan dia tidak ingin melihat bagian mata Karan yang mendadak jadi bikin dia sesak.

"Kiran, saya sudah ingat semua. Kamu jangan menangis, aku tidak suka lihat kamu menangis." Karan mengangkat tubuh Kiran sampai tubuhnya bisa berhadapan dengan tubuh Kiran. Wajah basah cewek itu langsung diusap cepat-cepat oleh Karan, lalu cewek itu dipeluk dalam tubuh bidangnya.

"M-maafin aku." Ucap Kiran akhirnya masih menangis terseduh-seduh.

"Saya yang seharusnya minta maaf ke kamu karena saya tidak bisa mengingatmu di hari pertama kita ketemu."

Kiran makin terisak, saat itu memang saat yang paling menyakitkan. Tapi sekarang itu bukan masalah besarnya, karena yang sedang difikirkan oleh Kiran sekarang adalah bagaimana keadaan Karan setelah berhasil mengingatnya yang berarti dia mengingat Giotraf juga.

Karan melepas pelukannya, saat itu angin malam membawa mereka pergi keluar taman begitu saja. Karan membawa Kiran pergi ke kosannya yang dianggap sepi dan mampu memberi kesempatan untuknya dan Kiran bertukar cerita dari hati ke hati.

"Kamu mau teh anget?" Tawar Karan membuka isi bungkusan tadi yang didalamnya ada teh anget satu porsi besar yang kemungkinan sudah agak dingin.

Kiran menggeleng, dia membereskan karpet milik Karan yang agak kelipat-lipat. Tangisannya sudah reda sejak tadi. Setelah Karan duduk didepannya dengan kaki disilangkan, cowok itu menoel pipi Kiran sebentar, membuat pipi Kiran bersemu.

"Kamu gak rindu sama saya?" Tanya Karan membuat Kiran sedikit tersenyum dan memukul pelan bahu Karan.

"Ngapain rindu. Kamunya lupa ke aku." Entah, sejak kapan gaya bicaranya menjadi aku kamu. Mungkin karena Kiran merasa Karannya sudah kembali. Dan gaya bicara itu, hanya berlaku untuk cowok yang saat ini berada didepannya.

"Hehe. Maaf." Katanya sambil senyum.

"Kamu udah inget dari lama?" Tanya Kiran mencoba bertanya dengan hati-hati.

Karan mengangguk, membuat Kiran mengerutkan dahinya sampai keriput. "Kok gak bilang?"

"Saya nunggu kamu jujur. Tapi kamunya kelamaan, saya kan sudah gak sabar mau ngasih tau kamu." Ujarnya membuat Kiran garuk-garuk kepala, pipinya makin bersemu malu.

"Aku udah rencana mau jujur besok, tapi keduluan sama kamu." Memang benar, tadinya setelah acara pencomblangan Haikal dan Gin, besok pagi dia akan datang ke Karan untuk mengutarakan yang sebenarnya. Tapi itu jelas tidak terealisasikan karena Karan sudah mengaku duluan.

"Tadinya saya kira kamu ada hubungan spesial sama Bang Haikal." Ujar Karan membuat Kiran terbahak seketika.

Kiran menggeleng. "Ya enggaklah. Dia itu cuma temen aku, eh, sahabat ding." Kiran seperti agak mikir. Membuat Karan menaikkan alis.

"Saya cemburu." Katanya.

"Hah!" Kiran tidak percaya Karan bakal ngomong terang-terangan macam itu. Kiran menelan ludah, jantungnya kembali berdetak saat dia mendadak ingat kejadian di taman tadi.

"Tapi udah enggak lagi. Kamu pacar saya sekarang."

"Eh! Sejak kapan?" Tanya Kiran bingung.

"Sejak saat ini." Karan mengambil alih kedua tangan Kiran untuk didekatkan di dadanya, lalu duduknya agak dimajukan, membuat jarak mereka semakin dekat. Deruan nafas Kiran seakan merasuk kedalam tubuh cowok itu yang saat ini sedang menghela nafas, ingin mengutarakan sesuatu.

"Kiran, saya suka sama kamu. Dari dulu, bahkan meski saya gak ingat kamu, saya tetap suka sama kamu. Di hape saya gak pernah ada nomor perempuan, selain nomor mama dan kamu. Saya juga gak pernah ngelirik perempuan lain, selain kamu yang membuat saya tertarik. Saya suka kamu, meski namamu Mela atau siapapun. Tapi saya lebih suka kalau kamu Kiran. Saya tau saya gak romantis, tapi maukah kamu nerima cinta saya?" Jelas Karan panjang lebar membuat Kiran merasakan hal yang seharusnya dari dulu ia rasakan. Kiran menangis lagi, bukan karena sedih tapi lebih karena terharu dan bahagia.

Kiran mengangguk, lalu memeluk Karannya yang sangat ia sukai dan ia rindukan. Tubuhnya ditopang oleh lututnya yang agak berjinjit, menyamakan bahunya dan Karan agar bisa memeluk cowok itu, sampai akhirnya Karan membalas pelukan Kiran sambil mengusap pucuk kepala Kiran dengan lembut.

"Terimakasih karena kamu sudah ingat sama aku sebelum aku memberitahu mu. Terimakasih karena gak kenapa-kenapa setelah kamu inget. Aku takut.." Ucap Kiran seraya melepas pelukannya. Ucapannya tersendat begitu saja.

"Takut kenapa?" Tanya Karan mengusap pelan pipi basah Kiran.

"Aku takut kalau kamu inget aku, dan kamu ing..nget om Traf, kamu akan sakit."

Karan terkekeh pelan, meski Kiran tau sorot matanya menggambarkan kesedihan yang mendalam. "Sakitnya sudah sebelum itu. Kamu gak usah khawatir, karena sekarang saya ada kamu yang menemani saya." Karan mengelus pipi Kiran pelan.

Kiran mengangguk, dia jadi lega dan tidak perlu khawatir lagi. "Aku rindu kamu." Katanya, pipinya makin bersemu merah.

"Saya lebih rindu ke kamu."

Tok. Tok. Tok.

Tok. Tok. Tok.

"WOY! BUKA PINTUNYA. LO APAIN KIRAN, HAH! BANGSAT! BUKA PINTUNYA ANJING!!!"

[][][]

Hai, KARAN [COMPLETE]Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang