Tahun 2016.
Suasana hati Kiran sudah normal lagi saat tangisannya reda karena pelukan dari Karan. Hari makin sore, dan Kiran betah berlama-lama berada di rumah ini. Karan saat ini memang sangat mirip dengan Karannya dulu, suka bercanda dan sudah tidak kaku lagi menurut Kiran. Dia senang akhirnya sedikit demi sedikit dia sudah merasakan kehadiran Karannya lagi. Karan yang dulu, yang sangat ia rindukan.
Kiran terkekeh, deretan gigi putihnya ditunjukkan. "Kayak anak kecil sih." Katanya sambil memandangi setiap lekuk wajah Karan yang menurutnya tidak boleh dilewatkan, fokusnya kali ini berada diatas bibir Karan yang belepotan.
Karan tersenyum, "apa?" Tanyanya sambil menoel dagu Kiran yang jadi salah tingkah.
Kiran menaikkan dagunya, menunjuk kearah bibir Karan yang belepotan dengan es krim. Kiran jadi terkekeh lagi saat Karan nyengir kuda sambil mengelap bibirnya dengan tangannya sendiri. Mood Kiran sangat bagus saat tiba-tiba seseorang memanggilnya dari belakang dan membuatnya mendengus.
"Ran, kok lo.."
Sebelum meneruskan komentarnya, cowok itu diam. "Eh, kak Bram." Sela Kiran buru-buru bangkit seraya mengedip-ngedipkan matanya agar namanya tidak disebut oleh cowok yang rupanya adalah Bram itu, cowok arab dengan pakaian semi rapinya.
Kiran menaruh kotak es krimnya di kursi lalu bangkit menuju kearah Bram yang nampak kebingungan dengan kedekatan Kiran dengan Karan barusan. Karan sendiri bengong karena ekpresi Kiran seakan agak kaget. Atau mungkin, sedikit aneh.
"Kak, ikut gue bentar." Ujar Kiran lalu menggiring Bram pergi. "Ran, bentar ya." Pamit Kiran pada Karan yang kemudian mengangguk.
Tidak jauh dari Karan, Kiran dan Bram berdiri di tempat yang pas untuk cewek itu mengutarakan yang sebenarnya. Kiran kembali berceloteh, mengatakan kejujuran, alasan sebenarnya kenapa mengubah nama panggilan, dan lain sebagainya. Toh, Bram juga bukan orang lain. Sedikit tidaknya dia berhubungan dengan Karan, dia juga teman Haikal yang menurut Kiran bisa dipercaya. Yah, mungkin sekarang sudah ada dua orang yang tau kebenarannya, Haikal dan Bram. Entah nanti siapa lagi, Karan, cowok itu juga pasti akan mengetahuinya. Nanti!
"Jadi elo cewek yang suka diceritain Karan." Ujar Bram membuat Kiran menaikkan alisnya. Baru saja dia selesai bercerita, mulutnya sudah ingin terbuka lagi dengan tanya apa maksut yang Bram katakan.
"Hhh.." Bram mendengus. Matanya melirik keberadaan Karan yang terus mengawasi. Lalu kembali menatap Kiran dari ujung rambut sampai ujung kaki.
"Lo tau kan kalau dulu gue suka dititipin di rumah Karan."
Kiran mengangguk.
"Iya. Jadi dulu Karan selalu nangis kalau lagi main sama gue. Dia selalu ngerengek ke mamanya minta pergi ke Jember, katanya mau main aja sama temen ceweknya. Pas gue tanya siapa, Karan gak pernah jawab. Dan ternyata itu.." Bram menghela nafasnya agak panjang, sorot matanya berubah. "Elo." Tambahnya membuat Kiran menelan ludah.
"Kenapa waktu gue selalu salah." Bram tersenyum miris, Kiran jadi merasa tidak enak. Lagipula dia tidak mengerti dumelan Bram barusan. Hanya saja tatapanya sudah penuh tanya.
"Lo suka sama Karan?" Tanya Bram membuat jantung Kiran seakan berhenti berdetak. Ditembak mati dua kali itu rasanya agak kurang wajar. Kenapa kedua orang yang sudah tau kebenarannya bahkan menanyakan hal yang sama, pertama Haikal, dan sekarang Bram. Apakah seterlihat itukah Kiran menyukai Karan. Cewek itu diam, walau sebenarnya ada seulas senyum dari bibir pinknya.
Bram mengangguk-ngangguk, dia menghela nafas lagi. Saat kemudian bahu Kiran ditepuk dengan tangan kanannya. "Lo harus jujur secepatnya sama dia. Karan butuh lo. Dia butuh orang untuk diajak ngobrol dan bersandar. Dia cuma kelihatan baik diluar, padahal ada sebuah ingatan pahit yang dia lupakan. Termasuk.." Bram menunduk, tangannya terlepas dari bahu Kiran. Kiran sendiri makin penasaran dengan kelanjutan cerita Bram.
Bram senyum ke Kiran. "Termasuk ingatan menyenangkannya bersama lo Ran." Katanya, ah, tentu bukan itu lanjutan cerita yang barusan.
Lo pasti tau tentang sesuatu Bram.
Kiran mengernyitkan dahinya sampai keriput, dan Bram menangkap isyarat itu. Perkataannya memang harus dilanjutkan. "Satu kenyataan pahit yang harus lo ingatkan pada Karan adalah bahwa ayah kandungnya sudah meninggal. Dan lo harus ada bersamanya saat dia tau kebenaran itu." Jelasnya. "Gue tau lo pasti udah tau segalanya tentang Karan. Dan bodohnya gue baru sadar sekarang." Senyum Bram miris. Kiran lagi-lagi hanya bisa menelan ludah, Bram memang benar tau segalanya.
"Gue baru sadar, kalau ternyata seorang Kiran yang gue kenal cuek dan irit omong bisa dalam waktu dekat akrab ke gue. Padahal Haikal bilang butuh waktu tiga bulan buat deket sama lo. Tapi gue, gak sampe sebulan. Ternyata alasannya adalah Karan. Alasan gue cepet deket sama lo adalah informasi tentang Karan." Wajah Bram jadi datar dan lesu. Kiran sudah meremas ujung bajunya sambil menggigiti bibir bawahnya karena gugup. Perkataan Bram barusan serasa menusuk ke ulu hati, karena dia sendiri membenarkan apa yang Bram katakan. Dia jadi merasa bersalah.
"Maaf kak." Hanya itu yang bisa Kiran sampaikan pada Bram yang disambut oleh anggukan cowok itu sambil sedikit senyum.
"Udah lupain. Yang penting sekarang adalah lo cepet jujur sama Karan, karena dia butuh lo. Om Traf, ayah kandungnya, lo harus cerita ke dia. Bagaimanapun hasilnya, lo harus tetap disampingnya. Meski itu menyakitkan. Gue tau lo bisa gue andalkan. Gue sama lo, rasa sayang kita sama ke Karan yang gue anggep sebagai adik gue sendiri." Jelasnya membuat Kiran mengangguk paham.
Dewasa, penasihat, mungkin dua kata itu yang bisa menggambarkan Bram saat ini. Kiran menganggap Bram sekarang adalah pria dewasa yang menunjukkan hal apa yang seharusnya Kiran lakukan dari awal. Bagaimana seharusnya dia memperkenalkan diri, dan bagaimana seharusnya dia bertindak cepat untuk mengetahui keadaan Karan yang sebenarnya. Kiran sungguh akan melangkah benar kali ini.
"Makasih kak." Senyum Kiran pada Bram yang juga ikut senyum sambil menaikkan dagu menunjuk kearah Karan yang rupanya sudah melangkah kearah mereka. Kiran menoleh kebelakang, sambil menyeringai. Dia tidak mau keadaan ini menjadi nampak aneh di mata Karan.
"Hai Ran." Sapa Bram akhirnya pada Karan yang langsung memeluk Bram dengan tepukan bahu.
"Hai bang. Sendiri?" Tanya Karan sesekali melirik kearah Kiran yang menunduk kebawah memainkan kaki polosnya dengan sandal jepit milik bibi.
"Iya. Mau jemput lo ke rumah. Biasa, ada game baru. Eh tapi lo ada tamu." Ujar Bram ikut melirik Kiran.
Karan terkekeh. "Dia bukan tamu bang. Pembantu baru saya dia." Katanya membuat Bram tertawa, sedangkan Kiran langsung mendengus kesal lalu mendorong pelan bahu Karan sampai cowok itu berkata aduh.
Bram tertawa lagi. Rasanya aneh jika dia egois merebut Kiran dari Karan yang lebih membutuhkan gadis itu daripada dia. Bram sadar, cintanya pada Kiran hanya sebatas mengagumi dan penasaran, tidak lebih. Karena kenyataannya dia sama sekali tidak cemburu pada Karan. Mungkin, rasa sayangnya sebagai abang pada Karan lebih besar daripada cintanya pada Kiran.
"Den, non, disuruh nyonya masuk. Sudah sore, mandi dulu." Teriak bibi dari dalam rumah. Membuat ketiga orang itu saling tatap dan mengangguk.
"Yuk." Ajak Karan merangkul bahu Kiran tanpa malu-malu.
"Yuk." Balas Bram dengan senyumnya.
Kiran, cewek itu cuma diam.
---
KAMU SEDANG MEMBACA
Hai, KARAN [COMPLETE]
RomansaDua manusia dimasa kecil yang sama. Dan dipertemukan secara tidak sengaja didunia perkuliahan. Pertemuan pertama dengan insiden. Pertemuan selanjutnya dengan misterius. Manusia berjenis laki-laki yang lupa. Manusia berjenis perempuan yang masih inga...