Holla hop.. ^^
Eiy, Btw gue gak pernah nongol ya haha. Ada sedikit quotes "ergm"Saat sang pagi menyinariku, aku ingat nama kau yang entah sejak kapan sudah berkumpul dikepalaku. Aku senang dengan fikiranku, tentang kau.
---
Tahun 2016.
Kelas 1-1, gedung A.
Fakultas Manajemen.Oh Tuhan, Kucinta dia,
Kusayang dia, Rindu dia,
Inginkan dia..
Utuhkanlah, Rasa cinta dihatiku
Hanya padanya, untuk..Srek!
"Ran. Astaga.." Gin berteriak didepan wajah Kiran yang sedang mengernyit penuh kekesalan, headsetnya dilepas kasar oleh Gin. Sehingga lagu yang ia dengarkan seketika terputus salurannya saat ingin masuk kedalam lubuk hati. Kiran menautkan kedua alisnya, seperti bertanya 'ada apa'.
"Dipanggil Pak Heri egek." Kata Gin lagi, membuat mata Kiran mendongak kearah pintu kelas yang rupanya benar dosen matematikanya memanggil.
"Yailah, tau aja tu bapak yang cantik yang mana." Tambah Sera yang duduk disamping kiri Kiran sambil memberi kode kedipan kearah temannya itu yang sama sekali tidak direspon.
Kiran bangkit dari duduknya dan menghampiri dosen matematikanya didepan pintu, sambil sesekali menengok kearah Gin yang teriak-teriak diujung bangku paling belakang dengan cengirannya macam biasa. Kalau bukan Gin yang notabennya teman dekatnya dikelas, mungkin Kiran sudah melempar Gin jauh-jauh atau kalau bisa ditendang, biar tidak memalukan Kiran.
"Kamu tolong ambilkan jurnal saya ya diruangan." Ujar dosen itu, Kiran lekas mengangguk dan hendak berjalan, sebelum itu terjadi Kiran menoleh lagi ke dosen itu yang ternyata memanggil. Kiran sedikit mundur karena dosen itu tiba-tiba mendekat kearah Kiran. Dahinya berkerut tanda bingung.
Macem-macem ni bapak, gue timpuk!
"Saya ada sesuatu buat kamu. Ambil sekalian di meja." Katanya tersenyum singkat lalu masuk kedalam kelas. Memang, usia dosen itu belum bisa disebut bapak-bapak, karena masih berkisar 27 tahun, dan iya, dia manis. Tapi jelas bukan tipe Kiran yang suka dengan dosen sendiri. Baginya guru adalah guru. Titik tanpa koma atau tanda tanya.
Bodo amat.
Kiran pergi, setelah beberapa lama kemudian kembali lagi ke kelas. Memberikan jurnal yang diminta kemudian duduk dibangkunya. Tanpa babibu lagi, karena dosen itu jelas mempertanyakan hadiahnya yang diambil atau tidak oleh Kiran.
Pa'an sih anjir ni dosen ya. Niat nyari istri jangan ke gue dong. Kampret!
Kiran menyandarkan tubuhnya di kursi kelas, semua fikirannya tidak lagi mengarah pada dosen tersebut. Tapi lebih kepada Karan, lagi apa dia? Ada kelas? Pingin main ama lo Ran. Kangen. Kiran memejamkan matanya sebentar, ujung bibirnya ditarik sedikit, dalam waktu sekian detik kemudian pudar karena dosen bernama Heri itu menghampirinya setelah memberikan tugas kepada Mahasiswanya dipapan tulis.
Heri menatap Kiran dengan lekat, tapi Kiran malah memandangi papan yang penuh dengan tulisan angka, sedangkan yang lain diam-diam memperhatikan Kiran dan Heri sambil cekikikan.
Haikal sumpah tolongin gue dong. Pinjemin sendal abah lo yang macam kelompen itu, pingin gue timpuk ni bapak.
Kiran bergidik ngeri, Heri masih menatapnya seakan bertanya apakah hadiahnya sudah ditangan Kiran atau belum. Kesal, sudah pasti bahkan Kiran ingin pergi dari kelasnya sekarang juga.
"Mau ke toilet." Pamit Kiran langsung karena merasa sudah dipuncak ubun-ubun, melewati sisi kiri kursi agar tidak berpapasan badan dengan Heri. Lantas, semua orang dikelas bercie-cie ria, Heri sendiri menatap Kiran bingung, merasa bersalah.
Tepat di toilet yang sedikit ramai karena beberapa Mahasiwa baru mau masuk kelas. Sedangkan kelasnya sendiri sangat tepat waktu dan itu menyebalkan. Kiran mengusap jidatnya yang berkerut, sesekali meremas pipinya sendiri agar mengempes saat digembungkan. Setelah sudah mengatur nafasnya hingga tenang, barulah dia beranjak pergi dari toilet. Enggan kembali kedalam kelas akhirnya kaki Kiran melangkah keluar gedung. Iseng, ingin mampir ke fakultas seni.
Iphone Kiran berbunyi, satu chat line dari Gin, juga Sera segera dibaca olehnya.
Gin : Woy Ran, dimana lo?
Sera : Ran, absen nih. Buruan masuk.
Kiran : Titip tas.
Bolong lagi absen gue, bodo amat!
Kiran lantas tidak menghiraukan lagi pesan tersebut. Saat kakinya sudah menapak ke halaman milik fakultas seni, barulah dia menelusuri jalanan sambil sesekali menengok ke gedung C yang padat dipenuhi oleh lalu lalang Mahasiswa yang ingin masuk atau keluar dari gedung. Suasana di halaman seni memang lebih menyenangkan ketimbang di halaman fakultasnya. Jelas sekali perbedaannya bukan. Fakultas seni, penuh dengan Mahasiswa yang kebanyakan membawa gitar dan semacamnya untuk dimainkan di gajebo, atau setidaknya gedung praktek musik diujung sana sedang berbunyi cukup nyaring sampai suara drumnya terdengar keluar. Belum lagi beberapa Mahasiswi cantik dengan pakaian adat serta ala modern dance mondar mandir disekitar lapangan. Ada juga seni peran yang mungkin sedang beradu ekting di taman yang membatasi fakultas seni dengan fakultasnya dengan pakaian semi compang-camping ala kadarnya.
Kiran senang, rasanya ia juga ingin masuk ke jurusan seni tapi mustahil. Apa daya, kemampuannya sendiri dalam belajar sudah nol, apalagi dalam bidang seni, mungkin kalau ada nol minus, itu dia. Kiran memilih duduk diujung taman sambil melihat ekting dari beberapa orang yang memang berperan sebagai pengemis dan tuan pemberi sedekah. Entah apa judul dari peranan itu, Kiran tidak peduli. Yang jelas saat ini dia sedang bertanya-tanya, sebenarnya Karan ada di jurusan apa.
Apa dia masuk ke jurusan musik? Dia kan jago main piano.
Sesaat setelah penebakannya itu, Kiran langsung beranjak pergi meninggalkan orang-orang tadi yang ektingnya sudah di cut karena tidak sesuai ekspektasi. Kiran melangkah ke gedung praktek yang tadi terdengar dentuman drum. Dengan satu helaan nafas, dia masuk kedalamnya, memperhatikan setiap pintu yang masing-masing dipenuhi dengan kebisingan sesuai jurusan. Tiba saatnya Kiran menemukan satu ruangan musik yaitu khusus piano. Alunannya merdu, siapa gerangan yang mengalunkannya. Ah, Kiran jadi penasaran dan buru-buru ikut mengintip bersama beberapa Mahasiswi lain, lagi-lagi dengan pakaian khas jurusannya. Mereka sedang mengintip orang didalam sana, yang mengalunkan nada indah.
Karan. Alamak.. Keren!
Batinnya mencelos sampai ke permukaan saat dilihatnya Karan yang sedang duduk bersenandung ringan dengan tangannya yang memencet tombol piano. Sambil tersenyum, tentu, rasanya ada kesan tersendiri melihat cowok seganteng Karan sedang bermain indah disinggah sana, belum lagi dengan lesung pipinya, Astagfirullahalazim, kuatkan hambamu ini.
"Ih, gue iri deh sama ceweknya. Sumpah."
"Iya. Iya, gue juga."
"Tapi cocok sih. Cantik sama ganteng."
Seruan cewek-cewek didepan Kiran itu membuatnya lebih melongok kedalam karena yang dilihatnya dari ujung pintu hanya tubuh dan wajah Karan dari samping. Lantas, siapa yang disebut cewek beruntung itu. Kiran berhasil masuk kesela-sela gerombolan itu, lalu dilihatnya hal yang sebenarnya tidak ingin dia lihat. Sungguh paduan dua manusia yang pas. Satu cewek dengan pianonya sendiri, sedang melihat kearah Karan, lalu Karan sendiri membalas tatapan itu dengan, entahlah Kiran tidak bisa melihat ekspresi Karan, lalu mereka memadukan nada pianonya.
Siapa dia? Tunggu, dia itu...
***
KAMU SEDANG MEMBACA
Hai, KARAN [COMPLETE]
RomanceDua manusia dimasa kecil yang sama. Dan dipertemukan secara tidak sengaja didunia perkuliahan. Pertemuan pertama dengan insiden. Pertemuan selanjutnya dengan misterius. Manusia berjenis laki-laki yang lupa. Manusia berjenis perempuan yang masih inga...