#35 - Libur Semester

4.9K 325 6
                                    

Tahun 2016.
Jember.

Libur semester, Hore!

Hasil UTS, masa bodo dulu. Yang terpenting bagi Mahasiswa/i sekarang adalah, mereka bisa liburan!

Suasana pagi di kabupaten Jember kerap kali membuat Kiran takjub, pasalnya dipagi buta macam sekarang ini, udara di Jember memang sangat sejuk. Ditambah lagi semilir angin sepoy-sepoy membuat beberapa poni Kiran yang sedikit basah akibat cuci muka tadi cepat mengering. Bersama Karan, semuanya serasa lengkap. Ah, tidak hanya pacarnya. Semua temannya juga ikut.

Bram, dia ikut. Itu karena dia adalah sahabat Karan. Dan memang baru pertama ini Bram diajak ke tempat kakek Karan, ayah dari Giotraf. Ine, tentu, dia kakak Karan sendiri yang kata Windri harus diajak untuk mengawasi Karan dan teman-temannya. Karan fikir itu tidak menjadi masalah, selama kakaknya itu tidak membuat rusuh.

Gin dan Sera. Mereka juga ikut. Tentu karena Kiran yang mengajak, dan Karan menyetujuinya. Sudah hampir mau tiga bulan mereka berteman, dan itu membuat Kiran sudah bukan lagi menjadi orang yang irit omong didepan Gin dan Sera.

Haikal, tentu saja dia harus ikut. Sahabatnya itu memang selalu Kiran bawa kemana-mana, benar, alasan pertama Kiran mengajak Haikal ya karena memang ada Ine. Masalah Haikal dengan Gin, ah, Kiran fikir Haikal memang benar tidak menyukai Gin. Gin juga sepertinya sudah menyerah dengan Haikal yang agak mulai cuek padanya.

"Aku rindu Ayah Traf." Ujar Kiran tiba-tiba membuat cowok disebelahnya menoleh kearahnya. Karan, dia mengusap pelan pucuk kepala Kiran sambil senyum.

"Saya lebih dari rindunya kamu." Katanya. Kiran melirik Karan, tangannya dengan cepat merangkul pinggang Karan dengan mata terpejam, kepalanya disandarkan di dada cowok itu.

Seraya matahari ikut terbit, cahaya oranyenya menerangi kedua sejoli itu dengan hangat. Kabutnya sudah agak hilang, udara yang tadinya dingin jadi  mulai agak panas. Hamparan sawah yang mereka lihat kini menampakkan warna hijau alaminya. Kiran menghirup dalam aroma pedesaan itu sambil mengingat ingat Giotraf, sebelum akhirnya kepalanya disentuh lagi oleh Karan.

"Sudahlah, ayah saya sudah tenang disana. Kamu tidak menangis kan?" Kata Karan agak sedikit menggoda. Kiran memukul pelan dada Karan sambil tersenyum. Baginya memang sangat perih, ah, bukankah lebih perih jika dirinya memposisikan sebagai Karan.

"Kamu yang jangan nangis." Kata Kiran akhirnya sedikit melongok karena mata Karan seakan berkaca-kaca. Karan mendongakkan kepalanya keatas, mencoba mengelabuhi Kiran yang memang tau kalau air mata itu akan tumpah.

"Tidak, saya hanya kelilipan." Ujar Karan sambil menyeka matanya yang Kiran rasa memang agak basah, sedikit.

"Jangan sedih. Ada aku." Ucap Kiran seraya memegang pergelangan tangan Karan yang agak dingin.

Karan senyum, Kiran juga. Pipi cewek itu diusap pelan oleh Karan. Entah, bahkan sampai pada akhirnya mereka merasa tenang dalam fikiran yang plong. Sudah lama sekali sejak saat itu, saat mereka berdua saling berpegang tangan. Saat mereka kecil, saat mereka saling melindungi. Mungkin ini masih awal, dan entah apalagi yang akan terjadi selanjutnya.

"Woy, malah pacaran pagi-pagi. Pantesan gue cari gak ada lo." Suara seseorang dari belakang membuat Karan serta Kiran menoleh cepat.

Itu Bram, dengan hah! Ine. Sedang apa mereka, berpegangan tangan? Demi apa?

"Udah bangun bang." Karan nyengir, lalu sedikit melirik kearah Kiran yang agak cengoh.

"Dari tadi sih. Abis ngater mbak-mu ke pasar."

"Ish." Ine seperti melepaskan tangannya dari genggaman Bram sambil mendengus. Bram sendiri terkekeh, lalu mengacak rambut Ine yang jadi berantakan. Memang, setiap kali Bram menyebut Ine dengan kata Mbak, rasanya agak aneh karena Ine memang sama sekali tidak ada keturunan jawa macam Karan yang mungkin sudah familiar dengan sebutan itu.

Kiran makin cengoh, sedangkan Karan malah ngikik sendiri. Genggaman tangannya pada Kiran semakin dieratkan, agak gemas.

"Pagi, Ran." Sapa Bram entah pada siapa. Nyatanya, nama panggilan Kiran dan Kiran memang sama.

Baik Karan maupun Kiran cuma diam dengan alis yang bertautan. Keduanya seakan menanyakan hal yang sama, siapa yang disapa oleh Bram barusan.

"Buat Kiran." Tambah Bram sambil sedikit agak mikir.

Oh, "Pagi Kak." Jawab Kiran singkat seraya mengeluarkan ekspresi tanya tentang apa yang ia lihat didepannya saat ini. Baginya ini salah karena ekpektasinya adalah Haikal yang bersanding dengan Ine, bukan Bram.

Bram seperti paham dengan apa yang Kiran ingin tanyakan padanya, cowok itu lekas memegang kembali tangan Ine. "Gue pacarnya Ine, sekarang." Katanya sambil melirik Ine yang jadi tersipu malu.

Hah! Demi apa?

"Ih, belom ya. Enak aja." Sergah Ine salah tingkah ingin menarik kembali tangannya, namun tidak dilepaskan oleh Bram.

"Udah sih kak, terima aja." Kali ini Karan ikut mengompori kakaknya. Kiran fikir pacarnya itu tau tentang hubungan Bram dengan Ine yang nanti pasti akan ia tanyakan segera.

Apasih, masih pdkt?

"Masih PDKT mereka." Tunjuk Karan pada kedua orang didepannya yang sedang lirik-lirikan. Seakan menjawab pertanyaan dari hati Kiran. Cewek itu hanya ber-oh ria sambil agak mendengus karena ekspektasinya benar-benar gagal.

"Yaudah lanjutkan. Gue mau nemenin mbak lo masak dulu. Dah." Pamit Bram sembari agak menyeret tangan Ine yang lagi-lagi mendengus karena dipanggil mbak oleh Bram.

Karan dan Kiran mengangguk seraya saling menatap beberapa detik. Karan tersenyum memandangi wanitanya yang sedari tadi memang mengeluarkan wajah ingin bertanya.

"Kamu cemburu?" Tanya Karan membuat Kiran mengerutkan dahinya, tidak lama dia memukul pelan dada Karan seperti biasa.

"Enggaklah." Kiran mendelik.

"Terus?"

"Bingung aja, kok mereka tiba-tiba bisa PDKT."

"Oh. Kirain saya kamu bingung kenapa Bram bisa cepet move on dari kamu."

Eh!! Tau dari mana dia.

"Aduh." Pekik Kiran saat merasa jidatnya agak disentil oleh jemari Karan. Kiran mendengus kesal, tangannya yang digenggam oleh Karan berusaha ia lepas paksa.

Karan terkekeh, tangan Kiran kembali diraih sambil tangan yang lain menoel pelan hidung Kiran. "Pasti karena bang Haikal ya?" Tanyanya, sekarang sorot matanya betul-betul seperti peramal yang tau akan segala hal yang Kiran fikirkan.

Kiran sendiri tidak mengelak atau berbohong, dia mengangguk. "Iya. Tapi yaudah deh. Lagian Haikal pasti ngalah lagi kalau saingannya kak Bram."

"Iyaudah. Nanti saya bantu kamu deketin bang Haikal sama si Gin aja. Kayaknya mereka cocok." Katanya disela-sela perjalanan mereka menuju rumah kakek Karan.

"Berhenti!" Kiran seakan menstop langkah Karan yang jadi menengok lagi kearah pacarnya itu. Sambil menaikkan alisnya bingung.

"Kamu nih jago ngeramal ya. Apa punya indra keenam sih. Atau bisa baca pikiran aku ya jangan-jangan?"

Karan terkekeh. "Kenapa?"

"Abisnya kamu tau semua yang aku fikirin. Segala tau kalau Haikal suka ke kak Ine, tau-tauan juga soal Haikal sama Gin." Kiran mengernyit, kernyitannya langsung diusap oleh tangan kiri Karan dengan cepat, lengkap dengan senyumannya.

Karan menggelengkan kepala. "Saya bukan peramal. Tapi saya calon kamu."

Kiran nampak sedikit berfikir, gak nyambung! "Calon apa?"

Karan senyum sekilas. "Calon imam nanti pas udah nikah."

Kiran terkekeh. "Aamiin" katanya lalu berlalu, kembali berjalan menuju rumah Kakek Karan.

[][][]

Hai, KARAN [COMPLETE]Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang