#22 - Minggu Untuk Karan 2

4.6K 344 1
                                    

Tahun 2016.

"Hah!" Kiran berharap untuk kali ini, semoga pipinya tidak bersemu. Pliss.

Karan menaikkan alisnya, meski sudah tidak senyum, tapi pipinya masih saja berlubang. Lesung pipinya, alamak gak tahan! Siapapun kaum Hawa yang melihat, silahkan tutup mata, karena kalau tidak pasti akan langsung jatuh hati. Percaya!

"Mak-maksut lo?" Tamat! Kiran merasakan pipinya saat ini panas, pasti sekarang sudah merah macam tomat. Cewek itu segera menunduk, melihat segala hal dikakinya yang bisa dilihat. Memutar bola matanya kesegala arah supaya bisa terhindar dari tatapan maut Karan.

Cowok itu ikut menunduk, sedikit membungkuk. Saat akhirnya wajahnya dilongokkan ke wajah Kiran dengan jarak yang cukup dekat. Tentu masih dengan lesung di pipinya. "Maksut saya, kita.."

Kiran mendongak tiba-tiba, membuat Karan tidak dapat melanjutkan perkataannya. "Karan beliin gue roti, laper." Kiran mundur selangkah kemudian nyengir, lebih tepatnya cengiran paksa karena hatinya kali ini benar-benar sudah ingin meledak. Dia tidak mau mendengar apa yang akan Karan katakan padanya, bukannya geer tapi, ah entahlah, kalau sampai Karan mengatakan apa yang terbesit difikirannya maka semuanya akan benar-benar meledak, meleleh, melebur, berbunga-bunga.

"Roti?" Lagi-lagi Karan menaikkan alisnya.

"Iya roti. Lo gak tau gue belum makan. Ayo cepet." Kiran menyeret lengan Karan menuju alfamart dekat taman.

Karan tidak protes, dia hanya ikut kemana cewek itu akan membawanya pergi. Tidak disangka, cewek beberapa hari yang dikenalnya irit ngomong bahkan enggan berkomentar itu kini menjadi cewek yang benar-benar bawel. Karan sekilas tersenyum, membayangkan segala hal yang ingin ia bayangkan saat ini. Saat akhirnya mereka sampai di alfamart dan Kiran terlihat memilih roti.

Setelah selesai memilih dan membayarnya ke kasir. Mereka kembali ke taman, memilih tempat duduk yang pas untuk melahap roti Kiran. Cewek itu benar-benar rakus, bukan lagi. Memakan rotinya dua potong kemudian meneguk susu kotaknya, makan lagi dua potong lalu minum lagi, begitu seterusnya. Karan benar-benar tidak habis fikir dengan tingkah cewek disebelahnya itu. Biasanya, kebanyakan cewek yang dekat dengannya akan dengan santai makan atau malah kelihatan banget jaim, tapi Kiran beda, dia malah terang-terangan makan rakus didepan Karan. Cowok itu kembali terkekeh, sampai-sampai dia tidak sadar bahwa dia sudah terlalu lama memandangi setiap lekuk wajah Kiran.

"Mau?" Kiran menyodorkan rotinya.

Lamunan Karan buyar seketika, "enggak, makan aja. Saya kan sudah makan bekal kamu tadi."

Kiran mengangguk, melanjutkan aksi sarapannya. Tidak lama setelah itu.

"Karan, lo kan punya rumah? Kenapa ngekos?" Tanya Kiran memberanikan diri. Semua pertanyaannya tentang Karan memang harus segera dilisankan, karena kalau sampai tidak, Kiran akan benar-benar menjadi gila dan mati penasaran. Amit-amit! Dan ini adalah momen yang tepat.

Karan sedikit terhenyak dengan pertanyaan Kiran, sebelum akhirnya dia menjawab. "Males di rumah." Wajahnya jadi berubah agak lesu.

"Kenapa?" Tanya Kiran masih terus ingin mengorek informasi.

"Gak tau kenapa, saya ngerasa gak punya ayah." Jelasnya membuat Kiran mengerutkan dahi tidak mengerti.

"Maksutnya?"

"Kamu pasti tau ayah saya siapa.."

Om Giotraf. "Pemilik kampus?" Jawabnya sambil sedikit mikir.

"Iya. Tapi gak tau kenapa saya ngerasa gak punya ayah. Saya ngerasa dia bukan ayah saya." Karan terkekeh ngeri. Tubuh cowok itu disandarkan dikursi taman. Sedangkan Kiran sendiri sudah sibuk dengan fikirannya.

Om Jino memang bukan bokap lo Karan. Kan bokap biologis lo sudah meninggal. Gimana sih gue masih gak ngerti?

"Gue masih gak ngerti."

"Gak tau kenapa saya merasa ada yang aneh di keluarga saya. Setiap saya pulang ke rumah dan melihat ayah saya, saya selalu takut, karena saya tidak benar-benar melihat sosok ayah didalam dirinya." Jelasnya membuat Kiran kembali berfikir. Matanya menatap lurus kearah mata Karan yang jadi memandang kosong lapangan didepannya.

Memahami orang memang sangat sulit, apalagi mencerna kata-kata Karan yang menurut Kiran semakin blur. Memang, sejak kejadian dia bertemu Karan, semua jadi nampak janggal. Masalah utamanya memang bercampur aduk dengan bahasan orang dewasa, termasuk menyangkut tentang orang tuanya, tapi Kiran sungguh tidak mau menggeluti pikiran orang dewasa, yang ia perlukan sekarang hanyalah Karan-nya, ada apa dengan dia? Dan, apakah dia baik-baik saja.

"Mela.." Panggil Karan setelah menyadari cewek disebelahnya termangu untuk waktu yang lama.

Kiran mengerjapkan matanya, "Hmm." Senyumnya pada Karan yang kini juga ikut tersenyum.

"Maaf jadi cerita begini. Kamu terganggu ya?" Katanya masih senyum.

"Oh, eh, enggak kok." Kiran menyeringai, "kan kita teman. Apapun yang mau lo omongin, omongin aja sama gue. Telinga gue cukup baik kok buat jadi pendengar." Kiran menyeringai lagi, membuat tangan Karan tanpa sadar sudah mengusap-ngusap kepala Kiran dengan gemasnya.

Semburat rasa gugup menyelimuti hati Kiran segera, hatinya berdesir lagi tak karuan. Inikah? Ah, sudah lama sekali sejak saat itu, sejak terakhir kali Karan memegang puncak kepala Kiran dengan senyumannya. Kiran bahkan tidak bisa berkomentar lagi saat Karan mengucapkan 'terimakasih' padanya.

---

Hari sudah berganti dengan malam, pagi sampai siang yang dirasakan Kiran hari ini terasa singkat. Kiran berlari mengejar Karan setelah berhasil mengikat tali sepatunya yang lepas, tapi tak ayal, entah apa yang dia fikirkan saat ini, tiba-tiba dia terjatuh begitu saja. Karan menoleh dengan cepat, taman disebelah selatan memang masih ramai, dan kejadian ini adalah yang paling memalukan bagi Kiran.

Kiran menyeringai pada Karan yang menatapnya dengan tatapan 'kenapa', saat Kiran mencoba bangkit, kakinya terkilir.

Kampret nih ah! Malu kan gue. Ish. Sepatunya kegedean!

Kiran dengan tampang lesu melepaskan sepatu sebelah kanannya yang menyebabkan ia terjatuh. Dia kesal, sepatu sebelah kanannya memang nampak begitu longgar ketimbang sepatu sebelah kirinya, jadi meski sudah diikat kencang, talinya dengan mudah begitu saja lepas. Kiran lalu membuang sepatunya begitu saja, sesaat kemudian Karan dengan sigap mengambilnya dan ikut berjongkok menolong Kiran berdiri, sambil geleng-geleng kepala.

"Jangan buang sepatunya, nanti kakimu kotor. Pakai lagi." Ujar Karan membuat Kiran sedikit mengerutkan kening, dan terkekeh begitu saja setelah menyadari komentarnya sama dengan Karannya, dulu.

"Kamu gak boleh ngelepas sepatunya. Kata mama nanti kakimu kotor."

Karan menyodorkan sepatu Kiran yang akhirnya dipakai oleh cewek itu, masih dengan kekehannya. "Kaki kamu sakit, mau saya obati." Kata Karan melirik sebentar kaki Kiran yang terpincang-pincang, kesusahan mengenakan sepatunya.

"Kaki kamu sakit, mau saya obati."

Kiran menggeleng dengan cepat, apa yang Karan katakan selanjutnya memang bisa ditebak oleh Kiran. Jika saja Karan ingat Kiran, semua apa yang dikatakan oleh cowok itu pasti dengan cepat ditimpali oleh Kiran.

"Mau saya gendong?"

"Hah!"

Tidak usah kebanyakan intro lagi, Karan dengan cepat membungkukan sedikit tubuhnya dan menyuruh Kiran naik diatasnya. Tidak lama kemudian Kiran menurut.

Seandainya saja..

***

Hai, KARAN [COMPLETE]Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang