28. Hurt

2.7K 289 56
                                    

Hati yang dulu beku akan mencair seiring berjalannya waktu, karena terus-menerus dihadapkan dengan sikap yang hangat dan lembut.

***

Raafi terbangun memegangi kepalanya yang sakit. Dia melirik siapa yang berada di sampingnya kini. Ternyata, Qia yang tengah asik tertidur pulas sambil memegangi tangannya dengan erat. Ada gejolak rasa senang, sedih, marah dan kecewa saat ia melihat Qia.

"Sshh aah--" desisnya memegangi kepala yang sakit. Membuat Qia terbangun, dan langsung panik melihat Raafi.

"Raafi.. lo udah sadar?" tanyanya penuh senang.

Raafi tak membalas ucapan Qia, dan beralih membuang arah mukanya menatap lain. "Ngapain kesini?" tanya Raafi dingin, bahkan lebih dingin dari AC yang menyala.

Qia menautkan kedua alis matanya bingung, "jagain lo."

"Gak perlu!" jawab Raafi cepat.

Sontak membuat Qia membulatkan matanya mendengar perkataan Raafi tersebut. "M-maksudnya?" Qia tergagap.

Raafi mendengus, "gak usah capek-capek buang waktu kamu buat sok jagain aku deh. Aku gak butuh kamu, mending kamu pulang aja! Males liat kamu."

Kata-kata itu, sukses membuat Qia membeku, tak dapat berkata apa lagi sekarang. "Raafi..." lirih Qia.

Suara lembut Qia, membuat darah Raafi mengalir cepat menuju jantungnya yang beritme tak beraturan. Membuat degupan kencang yang tak bisa ia pungkiri. Raafi tak menatap Qia, mengalihkan pandangannya dari gadis itu.

"Maaf, Raafi..."

Raafi.. Raafi.. dan Raafi, lagi.
Nama yang utuh keluar dari mulut Qia, tanpa disingkat dan tanpa hinaan. Ia senang bila Qia memanggil namanya tanpa disingkat seperti, 'Raaf'. Kata itu membuatnya ingin sekali memeluk Qia, tetapi ego yang timbul tak bisa dikalahkan.

Raafi tak juga membalas ucapan Qia, membuat air yang tergenang di pelupuk matanya, siap kapan saja untuk tumpah. "Lo.. nyuruh gue pulang?" Tes. Satu tetes air mata jatuh ke pipinya. Segera mungkin ia menyeka air mata itu dengan kasar.

"Ntar, yang.. jagain lo siapa..?" tanya Qia dengan suara parau.

"Siapa aja, asal enggak kamu!" balasnya ketus.

Ingin rasanya Raafi memeluk dan menghapus air mata gadisnya itu. Apalagi itu air mata yang disebabkan karenanya.

Tiba-tiba, suara kenop pintu terbuka dengan jelas, terlihat sosok Ifa disana. Dia melangkah pasti menuju ranjang Raafi.

"Ada Ifa kok.. yang jagain gue!" sambung Raafi tak acuh.

"Kenapa Raaf?" tanya Ifa yang terlihat kebingungan, "dia ngapain lo?"

"Suruh dia pulang, Fa," ucapnya seraya menutup mata lelah.

"Lo denger?! Apa perlu gue ulang?!" sahut Ifa sedikit mengeras.

"IFA!" bentak Raafi seketika.
"..jangan ribut!" lanjutnya.

Ifa tersenyum simpul menatap Raafi, "oke."

"Lo beneran marah sama gue? Tadi itu sebenarnya gue mau liat pertandingan lo, cuma keburu Rafa dateng, dan gue gak bisa nolak dia--"

"Udah deh Qi! Aku mau lanjut tidur." Raafi memejamkan matanya kuat-kuat. Tak ingin melihat ataupun melirik Qia yang sudah tak berdaya lagi.

Ifa menahan tawanya menatap Qia, "mampus!" gumamnya tanpa bersuara.

Qia menghiraukan tatapan Ifa dan mengangguk patuh, "get well soon, dear!" Gumam Qia, tetapi dapat didengar oleh Raafi.

Fix You! √Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang