36. Just 'Sorry'

1.9K 198 111
                                    

Kakinya dengan cepat melangkah memasuki rumah. Dengan mata yang merah nan sembab membuat pertanyaan besar di benak seseorang yang pertama kali melihat Qia sehisteris seperti ini. Bahunya tergoncang dengan isakan tersendu-sendu. Tanpa sepatah katapun juga Qia mengabaikan keberadaan ibunya di sana.

Misyel yang baru saja pulang dari pekerjaan Rumah Sakitnya, menatap bingung ke arah Qia yang baru saja memasuki kamarnya. Dengan langkah cepat juga Misyel pun menyusul untuk menghampiri Qia di kamarnya. Ia tak bisa tinggal diam melihat anaknya seperti ini. Saat Misyel telah tiba di depan daun pintu berwarna putih tulang itu, Ia mengetuk beberapa kali. Namun tak kunjung mendapat jawaban. Rasa gelisah sudah bergemuruh di hati Misyel saat melihat anak gadisnya yang malang.

Tok ... Tok ... Tok ...

"Qia, sayang, boleh mama masuk nak?"

Hening seperti tadi.

Misyel akhirnya pun membuka kenop pintu itu dengan pelan dan masuk, berjalan menuju ranjang anaknya dengan sangat pelan. Saat mendengar isakan itu semakin tersendu-sendu, Misyel jadi semakin khawatir dengan apa yang terjadi pada anaknya ini.

Dengan menyentuh bahu Qia, ia harap akan mendapat respon dari anak bungsunya yang tengah tidur membelakanginya, "Qia, kamu kenapa, sayang?"

Ia masih diam dan tak menjawabnya.

"Kenapa kamu pulang telat?" Misyel berusaha berbasa-basi, walaupun ia tau itu pasti tak akan mendapat jawaban dari anaknya. Sejenak ia teringat sesuatu.

"Hm ... klise banget alasan kamu nangis, Qi." Tebak Misyel, "kalau gak cinta!"

Beberapa saat, Misyel tak mendengar isakan itu. "Ya, itulah resiko dari jatuh cinta. Semua orang pernah merasakannya."

Misyel mendengus, "Raafi ngapain kamu?"

"E-enggak. Ngga ngapa-ngapain," kilah Qia dengan suara seraknya.

"Kamu ngga bisa bohongin mama, Qi! Mama juga pernah muda kali, eh." Dia terkekeh pelan melihat tubuh anaknya yang masih saja membelakanginya.

"Ternyata jatuh cinta tak semenyenangkan yang terlihat, ma." Qia terkekeh kecil dengan suara seraknya itu.

"Ya, begitulah siklusnya, sayang." Misyel memandangi punggung Qia. "Jatuh hati, sakit hati dan akhirnya patah hati."

Qia bangkit dari tidurnya, bersitatap dengan ibunya. "Ma, salah gak sih kalau aku ngeapresiasiin perasaanku dengan cara yang berlebihan?"

"Sayang," Misyel mengelus puncak kepala anaknya. "Mama tau perasaan kamu itu bagaimana, gak salah kalau kamu ingin memperlihatkannya seperti apa, tapi ... perlu satu hal yang harus kamu ketahui,"

Qia masih menyimak. "Cinta itu emang butuh pengorbanan dan ujian, tanpa kamu sadari, kamu telah jatuh hati sedalam ini pada Raafi. Mama bener atau gak salah?" tanya Misyel seraya mencolek dagu anaknya itu.

Qia jengah. Jujur ia tak menyangkal apa yang dikatakan ibunya itu. "Tapi ma, cinta ini udah gak ada artinya lagi buat aku." Ia tersenyum tegar.

"Maksud kamu?"

Qia menghela napas berat sambil mengusap kedua matanya yang basah, "Raafi sendiri yang nyuruh aku buat jauh dari dia."

"Gini ya sayang," Misyel mengelus puncak kepala Qia. "Mama gak akan dan gak pernah mau tau masalah percintaan kalian, mau itu urusan kamu sama Raafi, maupun juga urusan Siddiq sama Ale. Kalian udah dewasa, dan saatnya mama beri kepercayaan untuk kalian dewasa. Tapi ingat! Setiap masalah yang kamu alami itu, jangan pernah kamu biarin siapapun dia tertawa diatas masalah kamu ini."

Qia mengerutkan dahinya. Misyel tersenyum simpul, "cobalah mencari jalan keluar dari setiap masalah yang kamu hadapi."

"Maa ... Raafi sendiri yang minta aku jauhin dia. Kalau memang itu buat dia bahagia, aku turutin dan aku pun akan ikut bahagia." Qia tersenyum kecut.

Fix You! √Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang