Terlalu nyaman. Sampai lupa, kalau kita hanya teman.
***
"Lo ada hubungan sesuatu, ya, ama Aldo?!" Qia menyipitkan arah matanya menatap Ifa. Jari telunjuknya terangkat menunjuk tepat di depan wajah Ifa.
Seketika Ifa membulatkan arah pandangnya menatap Qia. "Aldo? A-aldo siapa?" tanyanya tergugup.
Ifa mendorong tubuh Qia agar menjauhi dirinya. Membuat Qia hampir saja tumbang kalau saja ia tak dapat menyeimbangkan diri. Saat Ifa ingin lari keluar dari gudang, Qia langsung mencekal tangan Ifa dengan eratnya.
"Mau kemana lo? Gak punya nyali, sekarang?" Qia menantang. Itu berhasil membuat darah Ifa naik ke puncak kepala.
Ifa hendak melayangkan tangan kirinya yang ingin menampar Qia, tetapi gadis itu mampu menangkis tangan Ifa dengan cepat.
"Eits...." ucap Qia meremehkan, "mungkin ini saat yang gue bilang ... gue bakal balas semua perbuatan najis lo ini ke gue!"
Ifa menatap tajam Qia. Dari sorot matanya tersirat bahwa ia sangat-sangat tidak menyukai cara Qia seperti ini. Ia menyentakkan tangan Qia dari tangannya secara sarkas.
"Hah," Ifa menyunggingkan senyuman miring. "Lo itu pantas dikasarin, emang dasarnya aja lo yang gak tau diri!"
"Perlu lo ketahui...," Qia menunjuk wajah Ifa. "...gue gak pernah main-main sama ucapan gue!"
"Terus...?" jawab Ifa angkuh, "gue musti takut ama lo, gitu?"
"Gue gak butuh ditakuti ama siapapun! Gue bukan Tuhan atau siapa-siapa yang harus ditakuti." Qia menyahuti, "gue cuma butuh ... dihargai!"
"Heh," Ifa mencebik. "Berapa harga diri lo? Sini gue beli, semurahan apasih lo!"
PLAK!!
Qia menampar wajah Ifa lagi tepat di pipi kanannya yang masih terlihat merah padam barusan. Sungguh! Qia tak menyukai perkataan hina Ifa tersebut yang amat sangat menohok untuknya.
"Najis! Punya mulut tapi otak gak dipake!" tukas Qia.
SKAK!
"Elo tuh yang gak pake otak, bangsat!" Tampak mata Ifa sudah memerah dibuatnya. Entahlah! Apa dia menahan tangisnya atau dia menahan amarahnya. "Seberapa bangsatnya sih, hal busuk lo yang belum gue ketahui?"
Baru saja Qia ingin menjawab, terdengar bel masuk istirahat dibunyikan. Membuat ia menyipitkan matanya menatap Ifa dalam-dalam.
"Bukannya, gue yang harusnya nanya. Seberapa hinanya sih lo, demi apa yang lo mau?!"
Sontak membuat Ifa melotot menatap Qia. "Satu hal lagi...," Qia mengangkat jari telunjuknya, "gue gak akan tinggal diam lagi sekarang!"
Setelahnya, Qia beranjak dari gedung usang nan sepi itu. Berlalu meninggalkan Ifa sendiri di dalam gudang. Perlahan, tampak genangan air di pelupuk matanya. Ifa terduduk.
Tes. Satu tetes air matanya mengalir dengan cepat di kedua pipinya. Ia tak tau, hal apa yang menyebabkan ia menangis disaat-saat seperti ini. Disaat ia meneteskan air matanya, disaat itulah sosok lain dari dirinya muncul. Membuat ia terlihat seperti orang tak berdaya.
Detik demi detik, Ifa masih terdiam seorang diri disana. Ia merenung, termangu menatap arah jendela luar. Otak dan hatinya berkecamuk merasakan sakit.
"Raafi...," lirih Ifa. "Gue kangen lo."
Ia mengusap air mata itu dengan gusar. Namun, air mata itu terus saja mengalir tanpa ia pinta.
"Lo ingat? Disaat gue lemah, cuma elo penyemangat gue, Raaf...." sendu Ifa. "Gue ... gue udah gak punya harapan lagi apa buat deket sama lo kaya dulu...? Dulu? Heh! Dulu ... kita sedekat nadi. Namun sekarang, kita sejauh matahari."
KAMU SEDANG MEMBACA
Fix You! √
Teen FictionApa perasaan mu jika kamu terus-menerus didekati oleh Sang cowok populer yang diidamkan para perempuan-perempuan di sekolah? Senang bukan?! Tapi tidak dengan Qia! Si cewek cuek nan dingin yang membenci Raafi, si cowok populer nan ganteng ini! Namun...