41. Kebenaran yang Menyakitkan

1.6K 135 14
                                    


Tepat di tengah keramaian taman bermain yang bernama Ancol itu, mereka berdiri sejajar dan saling melempar pandang. Terlihat raut kegembiraan yang dipancarkan gadis itu saat lelaki tinggi tengah menatapnya balik.

"Kenapa lo ngajak gue ke sini, Raaf?" Dia membuka obrolan mereka.

Raafi hanya bergedik asal, "gue pengen mengulang masa di mana kita dekat sebagai sahabat yang gue rindukan, dulu."

Senyuman yang diulas gadis itu seketika memudar. "Di mana saat kita dekat, hanya akan ngerasain hal-hal yang menyenangkan sebagai sahabat. Sayang sebagai sahabat. Peduli sebagai sahabat." Laki-laki itu mengulum senyum tipis.

"Tapi, sekarang gue ngerasaian hal yang berbeda dari kita," sambungnya. "...apa cuma gue aja yang ngerasa beda, ya?" dia terkekeh ringan.

Ifa menunduk lesu. Dia tak mampu menatap Raafi seperti tadi.
Ada beribu-ribu kata lebih yang ingin gue sampaiin ke lo saat kita kaya gini, tapi kenapa gue gak bisa mengucapkan sepatah katapun ke lo, Raaf. Batin Ifa terasa sangat sesak.

Ifa mulai melangkah meninggalkan Raafi yang masih diam menatap Ifayang  tengah tertunduk itu. Lelaki itu hanya mengekor kemana langkah kaki Ifa mengajaknya pergi.

Saat melihat ada bangku taman yang kosong, langsung saja Ifa duduk di sana. Dia hanya diam dan tak mampu menatap Raafi seperti sebelumnya. "Fa, ada gue di sini," ucapnya sambil memegang bahu Ifa.

Karena tak mendapatkan respon apapun dari Ifa, Raafi langsung mengalihkan pandangannya dari perempuan itu dan menatap langsung lurus apa yang ada di depannya. "Gue pikir, gue beruntung punya sahabat kaya lo yang apa adanya." Dia menghela napas panjang. "Ternyata ... lo ada apanya."

"Kadang gue suka nanya sama diri gue sendiri, apa yang salah dari tingkah gue ke lo, ya?" Dia mengerutkan dahinya, "gue mikir kalau gue gak pernah berubah ke lo."

"Lo salah," sela Ifa yang berusaha menenangkan dirinya sedari tadi. Raafi langsung menoleh menatap Ifa yang tengah menatapnya juga. "Apa?" balas Raafi.

"Lo tau," Ifa menatap lembut manik mata Raafi. "kadar kebaperan seorang cewe sama cowo itu beda, Raaf. Beda!" Dia langsung mengalihkan pandangannya pada lelaki itu.

"Dengan gampangnya lo bilang kalau kita ini hanya sahabat, sayang sebagai sahabat, peduli sebagai sahabat, itu semuanya munafik buat rasa gue ke lo, cih." Terlihat mata Ifa sudah memerah. "Dari awal kita ketemu, gue tau ada rasa yang lain buat gue saat ketemu lo, dan dengan gampangnya lo bilang kalau kita ini hanya sahabat. Fine!"

Raafi tercengang dengan apa yang baru saja dia dengar dari penuturan Ifa. "Maaf. Selama ini gue—gue—"

"Lo emang selalu gak pernah peduli sama apa yang gue rasain, Raaf." Bulir air bening sudah jatuh mengaliri pipi lembutnya. "dari dulu, gue udah anggep kalau lo itu milik gue, rasa sayang gue lebih dari sekedar sahabat buat lo." Dia tertunduk sambil terisak sesenggukan.

"Maaf."

Dia mengangguk, "gue tau, gue egois, tapi lo gak pernah mikir kalau lo lebih egois dari gue? Ha?" dia sedikit berteriak.

Raafi tak tega melihat perempuan itu menangis terisak seperti itu karena ulahnya. Apalagi sampai orang-orang melihat kejadian ini dan malah berpikir yang tidak-tidak tentang mereka. Dia dengan spontan mendekap tubuh Ifa.

"Gue iri sama Qia, Raaf." Perempuan itu masih sesenggukan. "For the first time lo liat dia, dengan gampangnya langsung jatuh cinta sama dia, sedangkan gue?" tangisnya semakin menjadi. "apa takdir sejahat itu ke gue?"

Raafi menggeleng sambil mengusap lembut puncak kepala Ifa. "lo bilang, lo suka ke gue saat pertama kali liat gue 'kan? Apa bedanya lo sama gue kalau gitu?" Dia terkekeh ringan. "Love for the first sigh, right?"

Raafi menghela napas, "gue gak akan ngebantah apapun yang lo katakan."

"Kenapa harus perempuan itu sih, Raaf?" tanyanya.

"Kenapa harus gue, Fa?"

Raafi melepas dekapannya, "gue udah tau semuanya."

"Apa?"

"Segala cara lo buat jauhin gue dari Qia."

Ifa menunduk. "Gue kehabisan kata-kata supaya lo berhenti buat mencintai gue, Fa. Mau gimanapun usaha lo, hati gue masih buat Qia, dan...." dia menghembuskan napas berat, "lo tetep satu-satunya sahabat yang gue sayang."

Ifa menegakkan kepalanya, "cinta tumbuh karena terbiasa 'kan?"

"Namun, cinta tak bisa dipaksakan." Raafi tersenyum.

"Fix, gue di tolak." Dia tertunduk lagi.

Raafi menyandarkan kepala Ifa ke bahunya yang kokoh itu. "Gue gak pernah nolak lo buat terus ada buat gue, sebagai sahabat."

"Masih banyak cowo di luar sana yang lebih baik dari gue. Kodratnya cewe itu dikejar, bukan mengejar," tuturnya menenangkan Ifa.

"Lo eilfeel liat gue kaya gini, Raaf?" gumam Ifa yang mampu di dengar oleh Raafi.

"Emang baru kali ini lo mewek alay kaya gini di depan gue, ha?" lelaki itu terkekeh ringan.

"Ini salah satu hal yang gue suka dari lo," jelasnya.

Raafi hanya diam. "Sekarang gue minta, buang jauh-jauh rasa ego lo buat semua yang lo punya. Hidup lo bukan ngurusin gue doang, cari kebahagian baru, gue sedih liat lo sedih, dan gue kesel liat lo ngurusin idup orang," tuturnya.

"Segitu sayangnya ya lo sama dia?"

"Dia siapa?" Raafi pura-pura.

"Qia."

"Nah, dia punya nama kali," balas Raafi. "Sayang mah jangan ditanya. Gue sayang dengan prang-orang yang ada di sekeliling gue, tanpa terkecuali."

Ifa berdecih. Gue masih gak rela, Raaf! Batin Ifa menggerutu.


***___***

Fix You! √Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang