Tidak. Qia tidak boleh lagi mengharapkan hal dulu terulang lagi. Disaat bel pulang nyaring berbunyi, langkah kakinya pasti akan dicegat oleh seseorang yang selalu saja memaksaknya untuk pulang bersama. Lambat laun, ia terbiasa oleh tingkah seseorang yang menjegkelkan itu, bahkan ia menyukainya.
Namun sekarang? Sekarang apa? Hanya tinggallah sebuah kenangan utuh yang selalu saja terngiang di benakknya. Kakinya melangkah tanpa pengendalian dirinya menuju gerbang depan.
Seketika, pemandangan di hadapannya ini fakta ataukah hanya fatamorgana pandangannya? Ia melihat seseorang yang selalu saja menempel erat di benaknya, jalan beriringan dengan seseorang yang ... paling ia benci?
"Raafi sama Ifa?" gumam Qia. Ia memastikan matanya tak terkena rabun ataupun katarak dengan mengucek-ucek matanya lagi menatap tajam kedua orang itu. Ternyata benar, matanya masih sehat dan tak terkena penyakit apapun.
Perlahan rasa sedih mulai menggerogoti tubuhnya yang lemah kini. Melihat Ifa dengan sengajanya menempel di lengan Raafi tanpa ada yang menggangu bahkan Raafi pun hanya diam mengikuti alur Ifa. Mereka berjalan beriringan menuju lapangan parkiran.
Qia hanya bisa diam termangu menatap kedua orang yang romantis itu. Raafi tengah menyalakan mesin motornya dan menunggu Ifa untuk menaiki motornya. Lalu, melaju kencang meninggalkan halaman parkir.
Mata Qia sudah tak mampu lagi menahan desakan bulir air ini. Dia hanya sendiri di pinggir gapura sekolahnya. Sedangkan para sahabatnya mana tau jika Qia seperti ini, karena memang ia sendiri yang menyuruh mereka untuk pulang duluan.
Perlahan, air bening itu jatuh mulus ke pipinya. Namun dengan gusar, Qia mengusapnya dengan pelan dan kepala yang tertunduk.Lama banget si Siddiq ih! Kek janda rempong, gatau apa hati gue luka. Rutuk Qia dalam batinnya.
Ia setia menunggu Siddiq tiba untuk mengajaknya pulang. Sudah hampir tujuh menit Qia duduk menunggu seseorang itu dengan asyik bersitatap dengan ponselnya, sesekali menitikkan air mata itu kembali. Akhirnya, penantian itu datang.
"Yuk, dek, pulang!" sahut Siddiq melewati Qia dengan santainya.
Qia mengekori Siddiq dengan kesal yang berjalan mendahuluinya. "Enak banget hidup lo kayanya ya," ia terkekeh meremehkan. "Pergi seenak jidat, pulang seenak pantat!"
Siddiq tak menghiraukan Qia di belakangnya. "Diem, kambing. Gue tau hati lo lagi butuh obat."
Qia membulatkan matanya kaget. "Obat? Iya, gue butuh obat. Obat diare!"
"Gak lucu tai, buruan masuk." Suruh Siddiq seraya ia juga ikut masuk ke dalam mobil. Qia hanya bisa merutuk, bagaimana Siddiq bisa tahu?
Jangan tanya bagaimana, tentu ia tahu dari Raafi!
Akhirnya mobil BMW itu melesat meninggalkan lapangan parkir SMA Pelita Bangsa.***
"Raafi, kok lo tumben nebengin gue pulang?" tanya Ifa saat mereka di perjalanan pulang.
"Gue tau lo gak bawa mobil."
"Cie perhatian...."
Tak ada respon lagi dari Raafi dan ia pun kembali menatap jalanan kota dengan gedung-gedung menjulang itu. Selang beberapa menit, dia kembali berucap, "kenapa gue liat lo gak bareng Qia lagi akhir-akhir ini?"
Dibalik helm hitam yang dikenakan Raafi itu, ada pancaran raut terkejut di sana. Namun tak ada terdengar secercah suara yang terdengar darinya.
Karena tak mendapat respon, Ifa sudah tau artinya. Sebuah senyuman miring terlukis di bibir tipisnya. "Hm, kalian ada masalah?" Ifa sengaja mencodongkan kepalanya ke depan. Agar sejajar dengan kepala Raafi.
KAMU SEDANG MEMBACA
Fix You! √
Teen FictionApa perasaan mu jika kamu terus-menerus didekati oleh Sang cowok populer yang diidamkan para perempuan-perempuan di sekolah? Senang bukan?! Tapi tidak dengan Qia! Si cewek cuek nan dingin yang membenci Raafi, si cowok populer nan ganteng ini! Namun...