"Sayang, kita nikah yuk!"
Qia tersedak saat menyeruput lemon tea, membuat Raafi cepat-cepat mengambil tisu dan mengelap mulut Qia yang dipenuhi air. Satu tangannya lagi mengusap punggung Qia dengan lembut.
"Kamu tuh ya!" Geram Qia menatap Raafi intens. "Kalo ngomong ga pernah liat keadaan deh, heran." Dia berdecak sebal sambil terus mengambil tisu.
"Apa? Aku salah apa?" Raafi menampilkan wajah tak bersalahnya. "Aku ngajak kamu nikah, salah emang?"
Qia kembali ingin menormalkan detakan jantungnya yang sudah tak karuan saat ini. Ditatapnya wajah lelaki yang tengah duduk memerhatikannya dengan seksama itu, mereka saling pandang.
"Tunggu aku lulus kuliah dulu ya, ini lagi nyusun skripsi kok."
"Disuruh nunggu mulu." Raafi menekuk bibirnya cemberut. "Nanti kaya kejadian kemarin lagi, kamu hampir aja diambil orang."
"Lebay." Rutuk Qia tak terima. "Dia cuma dosen aku, sayang."
"Ya gimana gak lebay sih, liat pacarnya digodain habis-habisan gitu. Dasar dosen ganjen emang!" Raafi melipat kedua tangannya di dada. Sembari menyandarkan punggung di kursi cafe tersebut.
Tak ada yang berubah dari mereka, hanya sebuah sifat kedewasaan yang muncul dari sebuah hubungan yang sudah mereka bina selama 5 tahun belakangan ini.
"Akutu gak digoda sama dia, Raafi. Orang cuma dosen gitu juga--"
"Dosen muda!" Potong Raafi kemudian.
"Oh jadi aku gak dibolehin deket sama dosen sendiri, sedangkan kamu boleh gitu nempel mulu sama sekretaris kamu itu, iya?!" Kini giliran Qia yang tersulut emosi.
"Ya ampun, sayang," Raafi menegakkan kembali tubuhnya dan mendekat ke arah Qia. "Dia itu cuma sekretaris aku di kantor, apa yang perlu di cemburuin sih?" Dia terkekeh seraya mengusap-usap punggung tangan Qia.
"Gak cemburu!" kilah Qia. "Cuma takut."
Raafi tertawa, "aneh kamu. Takut kenapa si?"
"Takut kalo kamu kepincut sama dia, kan kalian sekantor apalagi--"
"Sampai sekarang, belum ada satu wanita pun yang bisa buat aku noleh ke mereka. Cuma kamu di sini." Tunjuk Raafi mengarahkan tangan Qia ke dada bidangnya.
"Sepik ah, gombalan kamu basi." Qia menarik tangannya dari Raafi. Jujur, untuk saat ini ia butuh asupan oksigen yang banyak. Rasanya Qia ingin sekali mencium pria di depannya ini kalau tidak mengingat mereka ada di tempat umum.
"Makanya, ayo kita nikah, dan kamu bisa jadi sekretaris aku di kantor, hehehe."
"Aku gak mau jadi sekretaris kamu! Yang ada ntar gak fokus kerja lagi." Qia memutar bola matanya malas. "Lagian percuma dong aku capek mati-matian buat diwisuda jadi dokter eh malah jadi sekretaris juga akhirnya, ck!"
"Oh iya, kamu bener juga. Ntar kalo aku sakit kan ada si dokter cantik yang langsung ngasih pelukan hangatnya sebagai penyembuh." Raafi menaik turunkan kedua alisnya menggoda Qia.
Jangan tanya seberapa bahagianya Qia berada di samping pria ini. Selalu, setiap detik ia tak pernah kehilangan senyumnya saat berada dekat dengan pria yang ia cintai. Sungguh.
"Siapa sih yang gak suka liat CEO ganteng yang satu ini, cewe-cewe aja pada ngantri." Qia balas menggoda Raafi. "Susah emang punya pacar ganteng, banyak saingan, gak kebayang dulu waktu SMA rebutan." Rutuk Qia berbicara pada dirinya sendiri, yang sudah pasti didengar oleh indera pendengaran Raafi.
"Aku bakal setia nunggu kamu kok, cepetan ya wisudanya!" Raafi dengan gemas menarik pipi Qia.
"Sakit ih, Onta! Kesel deh," ucap Qia seraya mengelus pipinya yang kebas akibat cubitan dari Raafi.
KAMU SEDANG MEMBACA
Fix You! √
Teen FictionApa perasaan mu jika kamu terus-menerus didekati oleh Sang cowok populer yang diidamkan para perempuan-perempuan di sekolah? Senang bukan?! Tapi tidak dengan Qia! Si cewek cuek nan dingin yang membenci Raafi, si cowok populer nan ganteng ini! Namun...